Perkembangan Islam pada Masa Khalifah Ali Bin Abi Thalib
Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib 35 – 40 H (656 – 661)
Ali bin Abi Thalib ialah putera dari paman Rasulullah dan suami
dari puteri beliau Fatimah. Fatimah adalah satu-satunya puteri Rasulullah yang
ada mempunyai keturunan. Dari pihak Fatimah inilah Rasulullah mempunyai
keturunan sampai sekarang.
Muhammad saw. diasuh oleh Abu Thalib sesudah Abdul Muthalib
meninggal. Kemudian karena hasrat hendak menolong dan membalas jasa kepada
pamannya, maka Ali diambil Muhammad saw. diasuh dan dididiknya. Hal ini dapat
meringankan kehidupan Abu Thalib, lebih-lebih waktu negeri Mekkah ditimpa
bahaya kelaparan, karena Abu Thalib adalah bapak dari banyak anak.
Ali semenjak kecil sudah mendapat didikan dan adab serta budi
pekerti Islam. Lidahnya amat fashih berbicara,dan dalam hal ini ini terkenal
ulung. Pengetahuannya dalam agama Islam sangatlah luas. Dan mungkin karena
kedekatannya dengan Rasul, beliau termasuk orang yang paling banyak dalam
meriwayatkan hadits Nabi. Keberaniannya juga masyhur dan hampir di seluruh
peperangan-peperangan yang dipimpin Rasul, Ali senantiasa berada di barisan
depan, bergulat atau perang tanding dengan prinsip tak takut akan mati. Sering
Ali dapat merebut kemenangan bagi kaum muslimin dengan mata pedangnya yang
tajam.
Keberanian Ali dan banyaknya darah yang
ditumpahkannya dalam medan peperangan dalam membela dan mempertahankan agama
Islam dari orang-orang yang menyerangnya, menyebabkan ia banyak mempunyai
musuh. Banyak orang
yang luka hatinya, karena pahlawan-pahlawan kebanggaan mereka banyak yang
tertipu oleh keberanian Ali, lalu menentang Islam sekeras-kerasnya dan telah
menemui ajalnya di ujung pedang Ali yang tajam.
Adapun budi pekerti Ali, keshalihan, keadilan, toleransi, dan
kebersihan jiwanya sangatlah terkenal. Ali terhitung seorang dari tokoh-tokoh
utama yang mengambil pengetahuan, budi pekerti, dan kebersihan jiwa dari
Rasulullah saw. Tokoh-tokoh utama yang tiga itu ialah Abu Bakar, Umar bin
Khattab dan Ali bin Abi Thalib. Mereka bertiga terpandang laksana mercu suar
yang memancarkan cahayanya ke segenap penjuru alam.
1.
Pembai’atan Ali sebagai Khalifah
Dari uraian-uraian berlalu dapat diambil kesimpulan bahwa ada
golongan yang tidak menyukai Ali. Beliau adalah bintang Bani Hasyim, yang
menunut kursi khlifah, bardasarkan beliau merupakan kerabat Rasulullah. Tetapi,
jumhur kaum Muslimin memendang bahwa penyerahan kursi khalifah kepada Ali
berarti penyerahannya yang bersifat turun-temurun sebagai warisan kepada Bani
Hasyim. Cara ini tidak dapat diterima oleh bangsa Arab dan ditolak pula oleh
orang-orang yang mempunyai keinginan perseorangan.
Bila
pemerintahan dipegang oleh Ali,
akan kembalilah cara-cara memerintah pada pemerintahan Umar yang tegas dan
keras serta disiplin itu. Orang-orang yang telah merasakan kesenangan dan
kenikmatan hidup di masa pemerintahan yang sebelumnya, tentu saja tidak ingin
kembali lagi ke keadaan yang serba teliti dan serba diperhitungkan seperti di
masa Umar.
Banyak pula orang yang telah menjadi kaya raya dengan jalan yang
bathil, akan menjadi berkuasa dan berpengaruh dengan jalan aniaya. Bila Ali
memerintah, maka sudah tentu kekayaan mereka akan tandas, dan kekuasaan mereka
akan hilang lenyap. Berdasarkan pada pertimbangan yang semacam inilah banyak
orang yang tiada menyukai Ali.
Tak ada di antara sahabat-sahabat terkemuka
yang dapat menolak untuk membai’ah Ali, kemudian banyak para Muhajirin dan
Anshar yang mengikuti tindakan mereka, dan Ali pun di bai’ah oleh rakyat
terbanyak.
2.
Tantangan-tantangan yang dihadapi
Ali bin Abi Thalib dalam memerintah
Politik yang dijalankan seseorang adalah gambaran pribadi orang
tersebut, yang akan mencerminkan akhlak dan budi pekertinya. Ali mempunyai
watak dan pribadi tersendiri, suka berterus terang, tegas bertindak dan tak
suka berbohong. Ia tak takut akan celaan siapapun dalam menjalankan kebenaran.
Disebabkan oleh kepribadian yang dimilikinya itulah, maka sesudah di bai’ah
menjadi khalifah, ia mengeluarkan dua buah ketetapan, yakni sebagai berikut :
a.
Memecat kepala-kepala daerah angkatan pemerintahan Usman yang di
anggap menyalahi aturan pamerintahan, dan dikirimnya kepala-kepala pemerintahan
yang baru yang akan menggantikan.
b.
Mengambil kembali tanah-tanah yang dibagi-bagikan di masa
pemerintahan Usman tanpa jalan yang sah.
Banyak pendukung-pendukung dari kerabat Ali yang menasehatinya
supaya menangguhkan tindakan-tindakan radikal seperti itu, sampai keadaan
stabil. Tetapi Ali kurang mengindahkan. Pertama-tama Ali mendapatkan tantangan
dari keluarga Bani Umaiyah. Mereka membulatkan tenaga dan bangunlah Mu’awiyah
melancarkan pemberontakan memerangi Ali.
Pemberontakan pertama diawali oleh penarikan
bai’at oleh Thalhah dan Zubair, karena alsan bahwa khalifah Ali tidak memenuhi
tuntutan mereka untuk menghukum pembunuh kahlifah Utsman. Bahwa penolakan khalifah ini disampaikan kepada Siti Aisyyah yang
merupakan kerabatnya di perjalanan pulang dari Mekkah, yang tidak tahu mengenai
kematian khalifah Utsman, sementara Thalhah dan Zubair dalam perjalanan menuju
Bashrash. Siti Aisyah bergabung dengan Thalhah dan Zubair untuk menentang
khlifah Ustman, bisa juga karena alasan pribadi, atau karena hasutan Abdullah
bin Zubair. Muawiyah turut andil pula dalam pemberontakan ini, tetapi hanya
terbatas pada usaha untuk menurunkan kredibilitas khalifah di mata umat Islam,
dengan cara menuduh bahwa jangan-jangan khalifah berada di balik pembunuhan
Khalifah Ustman.
Boleh dikatakan bahwa hampir seluruh ahli sejarah dan ahli
ketimuran mencela tidakan Ali. Dikatakannya bahwa Ali tidak bijaksana, dan
tidak mendapat taufik dalam hal ini. Tetapi menurut kami, bahwa tidak
sepantasnya meletakkan tuduhan yang seberat itu ke pundak Ali. Tuduhan itu
sangatlah berlebihan.
Kesimpulannya, pengangkatan Ali menjadi
khalifah adalah suatu hal yang wajar, dan penantangan kepadanya pun adalah hal
yang wajar pula, sebagai akibat dari perkembangan dan peristiwa-peristiwa
sebelumnya, atau dengan kata lain, penantangan itu adalah karena keinginan
untuk merebut kekuasaan yang di bungkusi dengan alasan-alasan yang nampak
seperti pemecatan para pejabat yang dianggap telah menyalahi aturan-aturan
pemerintahan, ataupun pengembalian harta milik baitu mal yang telah dirampas.
Banyak peperangan yang tejadi di masa pemerintahan Ali, dan yang
terpenting adalah dua buah peperangan, yaitu peperangan jamal dan peperangan
siffin.
a.
Perang Jamal
Pemberontakan demi pemberontakan muncul. Ali bin Abi Thalib
menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Walaupun pada awalnya
Thalhah dan Zubair membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Akan tetapi
baiat yang dilakukannya menurut Jalaluddin Asy-Syuyuthi, bukan atas dasar
ketaatan kepada Ali, tetapi karena keterpaksaan saja. Maka pada akhirnya
setelah berangkat ke Mekah bersama Aisyah kemudian melanjutkan perjalanan ke
Bashrah ia mengajukan tuntutan kepada Ali agar menangkap orang yang telah
membunuh khalifah Utsman. Alasan mereka melakukan pemberontakan, karena Ali bin
Abi Thalib tidak mau menghukum mereka yang telah membunuh khalifah Utsman bin
Affan, dan mereka terus menuntut bela terhadap darah khalifah Utsman yang telah
ditumpahkan secara dzalim. Ajakan khalifah Ali untuk melakukan perundingan dan
menyelesaikan perkara secara damai, ditolak mentah oleh Thalhah. Maka akhirnya
pertempuran dahsyatpun berkobar. Maka perang ini dinamakan perang Jamal, karena
Aisyah dalam peperangan itu menunggangi unta. Dalam peperangan ini Thalhah dan
Zubair terbunuh, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
b.
Perang Siffin
Pemberontakan terhadap khalifah Ali bin Abi Tahlib juga
tidak hanya terjadi pada perang Jamal, tetapi juga terjadi pada perang Siffin.
Perang ini dilatarbelakangi oleh pembangkangan Muawiyah bin Abi Sufyan terhadap
kebijakan-kebijakan yang dikeluaran oleh Ali bin Abi Thalib yang didukung oleh
bekas pejabat tinggi yang meras kehilangan kedudukan dan kejayaan, yang pada
akhirnya melahirkan konflik bersenjata antara pasukan Ali dengan Muawiyah.
Perang ini kemudian dinamakan perang Siffin. Dalam perang ini pasukan Ali bin
Abi Thalib hamper memenangkan pertempuran, mengalahkan pasukan Muawiyah. Akan
tetapi dalam keadaan terdesak, pasukan Muawiyah mengangkat mushaf al-Quran
sebagai tanda bahwa perang harus diakhiri dengan melakukan perdamaian. Dalam
proses perdamaian itu kedua belah pihak masing-masing mengutus juru damai.
Pihak Ali mengutus Abu Musya al-Asy’ari, sedangkan dari pihak Muawiyah mengutus
Amr bin Al-Ash. Ali bin Abi Thalib kembali ke Mekah. Sedangkan Muawiyah kembali
ke Syiria. Keduanya menunggu hasil perdamaian yang dilakukan oleh utusannya
itu. Hasil kesepakatan kedua juru damai, kemudian disampaikan kepada khalayak
ramai di Adzrah. Pertemuan tersebut juga disaksikan oleh sejumlah shahabat
diantaranya adalah Sa’ad bin Abi Waqas dan Ibn Umar. Karena lebih tua Abu Musa
al-Asy’ari dipersilahkan meyampaikan hasil perdamaian terlebih dahulu kepada
masyarakat. Maka Abu Musya dalam pidatonya sepakat menurunkan Ali dari
jabatannya sebagai kholifah. Kemudian pembicara kedua disampaikan oleh Amr bin
Ash. Dalam pidatonya Amr bin Ash yang terkenal licik dan cerdik menerima
penurunan Ali bin Thalib sebagai khalifah, dan menetapkan Muawiyah sebagai
penggantinya, dan ia membaiat Muawiyah sebagai khalifah.
3.
Akhir Pemerintahan Ali
Sebetulnya tidak pernah ada
satu haripun, keadaan yang stabil selama pemerintahan Ali, karena banyaknya
hal-hal yang tidak sepengetahuan Ali telah terjadi, seperti hal nya di waktu
beliau bersiap-siap hendak mengirim balatentara untuk memerangi Mu’awiyah,
terjadilah suatu kelompok yang akan mengakhiri hidup masing-masing dari Ali,
Mu’awiyah dan Amr bin Ash. Kelompok tersebut terdiri dari tiga orang khawarij,
yang telah bersepakat hendak membunuh ketiga orang pemimpin itu pada malam yang
sama. Seorang diantaranya bernama Abdurrahman ibnu Muljam. Orang tesebut
berngkat ke Kufah untuk membunuh Ali. Yang seorang lain bernama Barak ibnu
Abdillah at-Tamimi. Orang ini pergi ke Syam untuk membunuh Mu’awiyah, sedang
yang satunya lagi yaitu Amr ibnu Bakr at- Tamimi berngkat ke Mesir untuk
membunuh Amr bin Ash.
Tetapi di antara ketiga orang itu hanyalah Ibnu Muljam yang dapat
membunuh Ali. Ibnu Muljam menusuk Ali dengan pedang waktu beliau sedang shalat.
Orang-orang yang bersembahyang di mesjid itu hanya mampu menangkap Ibnu Muljam
ketika Ali sudah terbunuh dan berpulang kerahmatullah. Sedangkan Mu’awiyah dan
Amr bin Ash selamat dari maut karena tikaman yang diarahkan kepada Mu’awiyah
tak membawanya pada kematian dan Amr ibnu Bakar salah dalam menikam orang, ia
mengira Kharij ibnu Habib as-Suhami lah orang yang akan dibunuhnya yang
dikiranya Amr bin Ash.
Dengan demikian berakhirlah riwayat Ali, orang yang paling fashih,
paling berani, dan yang paling luas pengetahuannya di antara pengikut-pengikut
Rasulullah saw. Dengan
berpulangnya Ali kerahmatullah habislah masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin.
Baca Juga :
- Perkembangan Islam pada Masa Khalifah Abu Bakar
- Perkembangan Islam pada Masa Khalifah Umar bin Khattab
- Perkembangan Islam pada Masa Khalifah Ustman bin Affan
Komentar