Sejarah Perkembangan Akhlak Pada Zaman Yunani (Di luar Islam)
Ilmu akhlak di luar Islam adalah pengetahuan
tentang akhlak yang tidak didasarkan pada Al-qur’an dan hadis. Keseluruhan
ajaran akhlak yang dikeluarkan oleh para pemikir diluar islam dapat saja
diikuti sepanjang tidak bertentangan dengan Al-qur’an dan hadis, atau sejalan
dengan kedua sumber tersebut. Ada banyak pemikiran dan pengetahuan tentang
akhlak yang tidak berdasarkan Al-qur’an dan hadis diantaranya yaitu:
1) Sofistik (500-450 SM)
Pertumbuhan dan
perkembangan ilmu akhlak pada bangsa Yunani baru terjadi setelah munculnya apa
yang disebut Sophisticians, yaitu
orang-orang yang bijaksana. Kata Sophisticians
juga bisa disebut dengan sofistik. Sebelum adanya para sofistik dikalangan
bangsa Yunani, pembicaraan mengenai akhlak tidak dijumpai, karena pada masa itu
perhatian bangsa Yunani hanya tercurah pada penyelidikannya mengenai alam.
Para sofistik
adalah ahli filsafat dan menjadi guru dibeberapa negeri. Walaupun berbeda-beda,
pikiran dan pendapat mereka memiliki tujuan yang sama, yaitu menyiapkan
angkatan muda bangsa Yunani untuk menjadi nasionalis yang baik, merdeka, dan
mengetahui kewajiban mereka terhadap tanah airnya. Pandangan para sofistik
mengenai kewajiban ini memunculkan pandangan mengenai prinsip-prinsip akhlak
yang diikuti dengan berbagai kecaman terhadap sebagian tradisi lama dan
pelajaran-pelajaran yang diberikan generasi sebelumnya. Akibat dari pandangan
para sofistik ini, akhirnya membangkitkan kemarahan kaum konservatif. Saat
Plato muncul, maka ia dengan tegas menentang dan mengecam mereka. Plato pun
menuduh mereka sebagai Sophistry yang berarti orang yang
memutar lidah dalam penyelidikan dan perdebatan.
2) Socrates (469-399 SM)
Filosof Yunani
yang pertama kali mengemukakan pemikiran dibidang akhlak adalah Socrates. Ia melakukan
penyelidikan terhadap akhlak dan hubungan antar manusia. Ia tidak menaruh minta
terhadap alam dan benda-benda langit yang menjadi objek penyelidikan para
filsuf Yunani sebelumnya. Ia menganggap bahwa menyelidiki objek-objek tersebut
tidak berguna dan yang seharusnya dipikirkan adalah tindakan-tindakan mengenai
kehidupan. Atas dasar pemikirannya itu, terkenallah ungkapan “Socrates
menurunkan filsafat dari langit ke bumi”.
Socrates
dipandang sebagai perintis ilmu akhlak Yunani karena ia adalah tokoh pertama
yang bersungguh-sungguh menghubungkan manusia dengan prinsip ilmu pengetahuan.
Ia mengatakan bahwa akhlak dalam kaitannya dengan hubungan antar manusia
haruslah didasarkan pada ilmu pengetahuan, jadi
keutamaan dalam akhlak itu terdapat pada ilmu. Namun para peneliti
terhadap pemikiran socrates ini tidak menemukan patokan-patokan tentang ukuran
akhlak itu baik atau buruk. Oleh karena itu tidak heran jika kemudian bermunculan
berbagai pendapat tentang tujuan akhlak walaupun sama-sama disandarkan pada
Socrates.
3) Cynics dan Cyrenics
Cynics dan
Cyrenics adalah para pengikut Socrates. Cynics adalah sekelompok filsuf Yunani
dari Sekolah Cynicisme.
Cynics dibangun oleh Antithenes yang
hidup pada tahun 444-370 SM. Menurut golongan ini bahwa ketuhanan itu bersih
dari segala kebutuhan dan sebaik-baik manusia adalah orang yang berperangai
ketuhanan. Sebagai konsekuensinya, golongan ini banyak mengurangi kebutuhannya
terhadap dunia sedapat mungkin, menerima apa adanya, suka menanggung
penderitaan, tidak suka kemewahan, serta menjauhi kelezatan. Hal yang
terpenting bagi mereka adalah memelihara akhlak yang mulia. Salah satu tokoh
kelompok Cynics ini adalah Diogenes yang meninggal tahun 323 SM. Dia memberi
pelajaran pada kawan-kawannya supaya membuang beban yang dtentukan oleh ciptaan
manusia dan perannya. Dia memakai pakaian yang kusam, makan-makanan yang
sederhana dan tidur diatas tanah. Hal ini mereka lakukan karena menurut mereka
hanya dengan cara inilah mereka akan selalu ingat Tuhan. Sebaliknya hidup
bergelimang kemewahan akan membawa orang lupa pada Tuhan.
Adapun golongan
Cyrenaics adalah sekelompok filsuf Yunani dari sekolah Ultrahedonis yang hidup
abad ke-4 SM.
Cyrencs dibangun oleh Aristippus yang
lahir di Cyrena (Kota Barkah di Utara Afrika). Golongan ini berpendapat bahwa
mencari kelezatan dan menjauhi kepedihan adalah merupakan satu-satunya tujuan
hidup yang benar. Menurutnya perbuatan yang utama adalah perbuatan yang tingkat
kelezatannya lebih besar daripada kepedihan. Dengan demikan kebahagiaan dan
keutamaan itu terletak pada tercapainya kelezatan dan kenikmatan.
Kedua golongan
tersebut sama-sama membicarakan tentang perbuatan yang baik, utama dan mulia
namun caranya saja yang berbeda. Jika Cynics bersikap memusat pada Tuhan (teo-Centris) dengan cara manusia
berupaya menjadi seorang yang zahid (meninggalkan segala hal yang bersifat
duniawi), maka Cyrenics bersikap memusat
pada manusia (antropocentris) dengan
cara memenuhi kelezatan dunia agar tercapai keutamaan.
4) Plato (427-347)
Plato adalah seorang filsuf dari
Athena dan merupakan murid dari Socrates. Diantara karyanya yang terkenal
adalah Republik yang berisi dialog
Plato dengan lawan debatnya. Semua buah pikirannya tentang akhlak terdapat pada buku itu. Pandangan Plato
mengenai akhlak berdasarkan pada teori model (paradigma). Jelasnya, ia
berpendapat bahwa dibalik alam ini masih ada alam rohani (alam ideal) sebagai
contoh alam konkret. Benda-benda konkret itu merupakan gambaran tak sempurna
yang menyerupai model tersebut. Keterkaitan antara alam ideal dan alam konkret
itu dijelaskan Plato melalui materi akhlak. Ia menjelaskan bahwa contoh keterkaitan
ini terdapat pada kebaikan, yaitu arti mutlak, azali, kekal, dan sempurna.
Manusia yang dekat dengan kebaikan akan memperoleh cahaya dan lebih dekat dengan kesempurnaan.
5) Aristoteles (394-322 SM)
Aristoteles
adalah murid dari Plato. Ayah Aristoteles adalah Nikomakhos, seorang tabib yang
tinggal di dekat Makedonia, di Yunani utara. Jadi tak seperti Sokrates dan
Plato, Aristoteles tidak berasal dari Athena. Dia juga tak berasal dari
keluarga kaya seperti halnya Plato, meskipun ayahnya juga bukanlah orang
miskin.
Pengikut
Aristoteles disebut dengan
“Paripatetics”, karena Aristoteles memperi pelajaran sambil berjalan atau
ditempat-tempat terbuka yang teduh. Aristoteles berpendapat bahwa tujuan akhir
dari yang dikehendaki oleh manusia dari apa yang dilakukannya adalah bahagia
atau kebahagiaan. Jalan untuk memperoleh kebahagiaan ini adalah dengan
menggunakan akal dengan sebaik-baiknya. Selain itu Aristoteles juga dikenal
sebagai pembawa teori pertengahan, menurutnya bahwa tiap-tiap keutamaan itu
adalah ditengah-tengah antara kedua keburukan. Misalnya adalah sifat dermawan,
yaitu berada ditengah-tengah antara boros dan kikir.
6) Stoics dan Epicurus
Stoics dan
Epicurus berbeda pendapat dalam mengemukakan pandangannya dengan kebaikan.
Stoics berpendirian sebagaimana paham Cynics. Pendapat Stoics ini banyak di
ikuti oleh ahli filsaat Yunani dan Romawi diantaranya Seneca (6 SM - 65 M),
Epictetus (60-140 M), dan Kaisar Macus Orleus (121 – 180 M). Sedangkan Epicurus sepaham dengan Cyrenics,
paham mereka ini banyak di ikuti dizaman baru ini, seperti Gassendi, seorang
ahli filsafat Prancis (1592-1656 M).
Komentar