Hubungan Sikap Keagamaan dan Pola Tingkah Laku
Ada 4 teori
mengenai hubungan antara sikap dan tingkah laku:
1.
Reason action model theory
Menurut teori ini, tingkah laku
individu dapat diramalkan dari tujuan tingkah laku yang terbentuk dari:
attidute towards the behavior (sejauh mana individu menilai positif atau
negatif dari konsekuensi tingkah laku tertentu) dan norma subyektif sejauh mana
ia percaya bahwa significant others menyetujui atau menolak tingkah laku
tersebut. Contoh: saya akan melakukan tingkah laku tertentu kalau tingkah laku
tersebut berdampak positif pada saya dan orang lain menyukai/menyetujui tingkah
laku saya tersebut.
2.
Planned behavior theory
Hampir sama dengan Reason action
model theory hanya saja menambahkan 1 elemen lain yaitu: persepsi akan
kemampuan untuk melakukan hal tersebut. Intense akan menentukan tingkah laku
ditampilkan atau tidak.
3.
Attitude to behavior process model
Beberapa kejadian dapat mengaktifkan
pengetahuan tentang norma social dan sikap sehingga keduanya akan membentuk
definisi kita tentang situasi (persepsi) yang akan menentukan tingkah laku yang
ditampilkan. Contoh: ketika melihat kecelakaan lalu lintas di jalan, norma
social Susi mengenai tolong-menolong (yang diajarkan sejak kecil) mendorong
Susi untuk menolong korban kecelakaan itu.
4.
Balance Theory dan Cognitive
Dissonance Theory
Menurut teori ini tingkah laku dapat
mempengaruhi sikap dan sebaliknya sikap dapat mempengaruhi tingkah laku.
Perubahan dapat terjadi bila tidak ada konsistensi antara sikap dan tingkah
laku. Dalam teori ini, kita sering menyadari ada hal-hal yang tidak sejalan
dengan diri kita yang membuat diri kita tidak nyaman (dissonance) untuk itu
kita berusaha membuatnya balance lagi melalui dua pilihan: mengubah sikap atau
mengubah perilaku. Bila ada situasi yang menekan atau menuntut keseragaman,
tingkah laku akan merubah sikap dan bila ada situasi yang tidak menekan, sikap
akan merubah tingkah laku. Contoh sikap merubah tingkah laku: Susi mencintai
Boby dan mau berpacaran dengannya, tapi karena mengetahui bahwa Boby itu
perokok dan Susi tidak menyukai rokok maka Susi tidak jadi berpacaran dengan
Boby. Contoh tingkah laku mempengaruhi sikap: Istri yang tidak suka bola, tapi
karena sering menemani suami menonnton bola, si istri tersebut jadi suka bola.[1]
Ada
tiga komponen dalam hubungan psikologis antara sikap dengan pola tingkah laku
seseorang, yaitu kognisi, afeksi, dan konasi yang bekerja secara komplek yang
merupakan bagian yang menentukan sikap seseorang terhadap sesuatu obyek, baik
yang berbentuk konkret maupun obyek yang abstrak.
Komponen
kognisi akan menjawab tentang apa yang dipikirkan atau dipersepsikan tentang
obyek. Komponen afeksi dikaitkan dengan apa yang dirasakan terhadap obyek
(senang atau tidak senang). Sedangkan komponen konasi berhubungan dengan
kesediaan atau kesiapan untuk bertindak terhadap obyek. Dengan demikian sikap
yang ditampilkan seseorang merupakan hasil dari proses berpikir, merasa, dan
pemilihan motif-motif tertentu sebagai reaksi terhadap sesuatu obyek.
Mata rantai
hubungan antara sikap dan tingkah laku terjalin dengan hubungan faktor penentu,
yaitu motif yang mendasari sikap. Motif sebagai tenaga pendorong arah sikap
negatif atau positif akan terlihat dalam tingkah laku nyata (overt
behaviour) pada diri seseorang atau kelompok. Sedangkan motif yang dengan
pertimbangan-pertimbangan tertentu dapat diperkuat oleh komponen afeksi
biasanya akan berperan sebagai central attitude yang akhirnya akan membentuk predisposisi.
Proses ini terjadi dalam dalam diri seseorang terutama pada tingkat usia dini.
Predisposisi itu merupakan sesuatu yang yang telah dimiliki seseorang semenjak
kecil sebagai hasil pembentukan dirinya sendiri. Dalam hubungan ini
tergambar bahwa pembentukan sikap keagamaan dapat menghasilkan bentuk pola
tingkah laku keagamaan dengan jiwa keagamaan.[2]
William
James menilai secara garis besar sikap dan perilaku keagamaan itu dapat dikelompokkan
menjadi dua tipe, yaitu :
1.
Tipe Orang yang Sakit Jiwa (The
Sick Soul)
Sikap keberagamaan orang yang sakit
jiwa ini ditemui pada mereka yang pernah mengalami latar belakang kehidupan
keagamaan yang terganggu. Maksudnya orang tersebut meyakini suatu agama dan
melaksanakan ajaran agama tidak didasarkan atas kematangan beragama yang
berkembang secara bertahap sejak usia kanak-kanak hingga menginjak usia dewasa
seperti lazimnya yang terjadi pada perkembangan secara normal. Mereka beragama
akibat dari suatu penderitaan yang mereka alami sebelumnya, mereka yang pernah
mengalami penderitaan ini terkadang secara mendadak dapat menunjukkan sikap
yang taat hingga ke sikap fanatik terhadap agama yang diyakininya. Penderitaan
tersebut disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu faktor intern dan faktor
ekstern :
a.
Faktor intern yang menjadi penyebab
dari timbulnya sikap keberagamaan yang tidak lazim ini adalah :
1) Temperamen, merupakan
salah satu unsur pembentuk kepribadian, tingkah laku yang didasarkan kondisi
temperamen memegang peranan penting dalam sikap keagamaan seseorang.
2)
Gangguan Jiwa, orang yang
mengidap gangguan jiwa menunjukkan kelainan dalam sikap dan tingkah lakunya.
3)
Konflik dan Keraguan, konflik
kejiwaan yang terjadi pada diri seseorang mengenai keagamaan mempengaruhi sikap
keagamaannya. Konflik dan keraguan ini dapat mempengaruhi sikap seseorang
terhadap agama seperti taat, fanatik ataupun agnostis hingga ke ateis.
4)
Jauh dari Tuhan, orang yang
dalam kehidupannya jauh dari ajaran agama, lazimnya akan merasa dirinya lemah
dan kehilangan pegangan saat menghadapi cobaan. Perasaan ini mendorongnya untuk
lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, hal ini menyebabkan terjadinya perubahan
sikap keagamaan pada dirinya.
b.
Faktor
ekstern yang turut mempengaruhi sikap keberagamaan secara mendadak, adalah :
1)
Musibah, terkadang
musibah yang serius dapat mengguncangkan kejiwaan seseorang. Keguncangan jiwa
ini sering pula menimbulkan kesadaran pada diri manusia dalam berbagai macam
tafsiran.
2)
Kejahatan, terkadang
mereka yang hidup dalam garis kejahatan akan merasakan dirinya itu berdosa
karena perbuatannya tersebut, sehingga dapat mengguncang batinnya menuju
perubahan.
2.
Tipe Orang yang Sehat Jiwa
(Healthy-Minded-Ness)
Ciri dan sifat agama pada orang yang
sehat jiwa menurut W. Starbuck yang dikemukakan oleh W. Houston Clark dalam
bukunya Religion Psychology adalah :
a.
Optimis dan gembira
Orang yang sehat jiwa selalu
menghayati segala bentuk ajaran agama dengan perasaan optimis. Segala bentuk
musibah dan penderitaan bukan berarti itu karena Tuhan marah, namun lebih
kepada kesalahan dan keteledoran sendiri. Mereka yakin bahwa Tuhan bersifat
pengasih dan penyayang, mereka selalu dapat mengambil hikmah dari setiap
kejadian yang menimpanya.
b.
Ekstrovet dan tak mendalam
c.
Sikap optimis dan terbuka yang
dimiliki orang yang sehat jiwa ini menyebabkan mereka mudah melupakan
kesan-kesan buruk dan luka hati yang tergores sebagai ekses agamis tindakannya.
Mereka senang kepada kemudahan dalam melaksanakan ajaran agama, sehingga akibatnya,
mereka kurang senang mendalami ajaran agama, dosa mereka anggap sebagai akibat
perbuatan mereka yang keliru.
d.
Menyenangi ajaran ketauhidan yang
liberal
Walaupun
keberagamaan orang dewasa ditandai dengan keteguhan dalam pendirian, ketetapan
dalam kepercayaan, baik dalam bentuk positif, maupun negatif, namun dalam
kenyataan yang ditemui masih banyak juga orang dewasa yang berubah keyakinan
dan kepercayaan.[3]
Komentar