Hubungan Anak dengan Agama
Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah, fisik
maupun psikis. Walaupun dalam keadaan yang demikian ia telah memiliki kemampuan
bawaan yang bersifat laten. Potensi bawaan ini memerlukan pengembangan melalui
bimbingan dan pemeliharaan yang mantap lebih-lebih pada usia dini.
Menurut beberapa ahli anak dilahirkan bukanlah
sebagai makhluk yang religious. Adapula yang berpendapat sebaliknya yaitu bahwa
anak sejak dilahirkan telah membawa fitrah keagamaan. Fitrah itu baru berfungsi
di kemudian hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah berada pada tahap
kematangan. Untuk memperjelas mengenai hubungan antara anak
dan agama, maka dalam makalah ini akan membahas hubungan antara anak
dengan agama.
A. Hubungan Anak dengan Agama
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Agama adalah sistem yang mengatur tata
keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata
kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta
lingkungannya. Kata "agama" berasal dari bahasa
Sanskerta, āgama
yang berarti "tradisi". Kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah
religi yang berasal dari bahasa
Latin religio
dan berakar pada kata
kerja re-ligare
yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi,
seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Kata agama kadang-kadang digunakan bergantian dengan
iman, sistem kepercayaan atau kadang-kadang mengatur tugas; Namun, dalam
kata-kata Émile Durkheim, agama berbeda dari keyakinan
pribadi dalam bahwa itu adalah "sesuatu yang nyata sosial". Émile Durkheim juga mengatakan bahwa
agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan
praktik yang berhubungan dengan hal yang suci.[1]
Anak dengan agama
mempunyai suatu hubungan yang sangat erat. Karena agama merupakan sebuah fitrah
bagi setiap orang. Allah SWT berfirman dalam surah Ar-Rum ayat 30 yang artinya: Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang
Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Para ahli tafsir menjelaskan
bahwa : seluruh manusia memiliki jiwa keberagamaan yang tertanam dalam dan
tidak bisa dihilangkan. Maksud dari din (agama) dalam ayat ini
bisa berarti sekumpulan ajaran-ajaran dan hukum-hukum pokok Islam, atau kondisi
penyerahan diri dan tunduk secara total di hadapan Allah. Alhasil, dari
ayat di atas dapat dipahami bahwa mengenal Tuhan dan meyembahnya adalah
hal yang bersifat fitri dan telah dibawa sejak lahir. Jadi, manusia adalah
makhluk beragama.
Begitu pula, di alam gaib,
sebelum manusia dilahirkan, dalam suatu acara ‘tatap muka’, ia bersaksi akan
keberadaan dan keesaan allah. Allah berfirman : yang artinya: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu
mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini
Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi
saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap Ini (keesaan Tuhan)",
Makna ayat ini berarti bahwa
sebelum manusia dilahirkan ke alam dunia, mereka terlebih dahulu dikumpulkan di
alam gaib (malakuti) untuk memberikan kesaksian atas keberadaan dan
keesaan Allah swt. Kesaksian mereka menjadi mitsaq (perjanjian) langsung
dengan Allah swt. yang mengikat hingga sampai hari akhir nanti dan harus
dipertanggungjawabkan, dimana manusia tidak dapat mengingkarinya dengan alasan
apapun. Ini berarti bahwa setiap orang secara genetik telah cenderung mengakui
adanya Tuhan.
Pandangan al-Quran ini diakui
oleh banyak ilmuwan yang saat ini. Mereka menyatakan bahwa manusia dilahirkan
membawa jiwa keagamaan, dan baru berfungsi kemudian setelah melalui bimbingan
dan latihan sesuai dengan tahap perkembangan jiwanya.
Will Durant misalnya, mengatakan
: “agama merupakan suatu perkara yang alamiah, lahir secara lansung dari
kebutuhan dan perasaan instinktif kita” (Religion is a natural matter, born
directly of our instinctive needs and feelings). Alexis Carrel menulis :
‘Perasaan beragama terpancar dalam diri manusia sebagai insting dasar. Manusia,
sebagaimana ia membutuhkan air bagi kehidupan, begitu pula ia membutuhkan
Tuhan” (The mistic sense is the stirring deep within us of a basic instinct.
Man, just as he needs water, solikewise needs God). Sayid Mujtaba Musawi
Lari menyebutkan ada empat pembawan dasar manusia, yaitu : 1. Perasaan beragama
(religious sense) 2. Kebenaran (truth), 3. Kebaikan (goodness),
4. Keindahan (beauty).
Dengan demikian, fitrah mengenal
Tuhan dan beragama telah terdapat dalam diri manusia secara langsung yang
menjadi model sekaligus modal khusus bagi dirinya, bukan hasil rekayasa budaya
dan ilmu. Fitrah tersebut merupakan model penciptaan yang tak bisa diubah dan
dihilangkan, walaupun ia dapat ditekan dan disembunyikan. Karena itu hubungan antara anak dan agama sangat berkaitan
dalam kehidupan nyata.[2]
B. Timbulnya Jiwa Keagamaan Pada Anak
Manusia dilahirkan dalam keadaan
lemah, fisik maupun psikis. Walaupun dengan keadaan yang demikian ia telah
memiliki kemampuan bawaan yang bersifat laten. Potensi bawaan ini memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan
pemeliharaan yang mantap lebih-lebih pada usia dini.
Sesuai dengan prinsip
pertumbuhannya maka seorang anak menjadi dewasa memerlukan bimbingan sesuai
dengan prinsip yang dimilikinya, yaitu:
1. Prinsip
Biologis
Secara fisik anak yang baru dilahirkan
dalam keadaan lemah. Dalam segala gerak dan tindak tanduknya ia selalu
memerlukan bantuan dari orang-orang dewasa sekelilingnya.
2. Prinsip tanpa daya
Sejalan dengan belum sempurnanya
pertumbuhan fisik dan psikisnya maka anak yang baru dilahirkn hingga menginjak
usia dewasa selalu mengharapkan bantuan orang tuanya.
3. Prinsip eksplorasi
Pemantapan dan kesempurnaan perkembangan
potensi manusia yang dibawa nya sejak lahir baik jasmani maupun rohani
memerlukan pengembangan melalui pemeliharaan dan latihan.
Menurut beberapa ahli anak
dilahirkan bukanlah sebagai mahkluk yang relegius. Menurut tinjauan pendapat
pertama bayi dipanggap
sebagai manusia dipandang dari segi bentuk dan bukan kejiwaan. Meskipun
demikian ada yang berpendapat bahwa tanda-tanda kegamaan pada dirinya tumbuh
terjalin secara integral dengan perkembangan fungsi-fungsi kejiwaan lainnya.
Beberapa teori mengenai pertumbuhan
agama pada anak antara lain :
1. Rasa ketergantungan
Menurut Thomas manusia dilahirkan
kedunia ini memiliki empat keinginan, yaitu : keinginan untuk perlindungan,
keinginan akan pengalaman baru, keinginan untuk mendapat tanggapan dan
keinginan untuk dikenal.
2. Instink keagamaan
Menurut Woodworth bayi yang dilahirkan
sudah memiliki beberapa instink diantaranya instink keagamaan.[3]
C. Perkembangan Agama Pada Anak
Perkembangan agama pada anak-anak itu
melalui tiga tingkatan, yaitu :
1. The Fairy Tale Stage (tingkat dongeng)
Tingkat ini dimulai pada anak yang
berusia 3-6 tahun. Pada tingkatan ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi
oleh fantasi dan emosi.
2. The Realistic Stage (tingkat kenyataan)
Tingkat ini dimulai sejak anak
masuk sekolah dasar hingga sampai ke usia adolesense. Pada masa ini ide
ketuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan
(realis).
3. The Individual Stage (tingkat individu)
Pada tingkat ini anak telah
memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia
mereka[4]
Menurut
para psikolog, seiring bertambahnya usia seorang anak muncul tiga kecenderungan
untuk beragama. Pertama, rasa untuk beragama pada diri anak akan tumbuh dan
berkembang. Pada tahap kedua, akan muncul keraguan pada dirinya tentang ajaran
agama. Dan tahap berikutnya, ia mulai menemukan berbagai pertanyaan akibat
keraguannya tersebut. Pada tahap ini, orang tua harus memperhatikan dengan
serius setiap pertanyaan yang diajukan anak-anaknya dan jangan sampai
menyinggung perasaan mereka dengan mengabaikannya. Terkadang sikap keliru yang
ditunjukkan orang tua atau para pendidik dalam menyikapi pertanyaan ini membuat
anak-anak kian menjauhi agama. Hal ini merupakan salah satu kendala dalam
pendidikan agama.[5]
Pemikir Islam
Imam Bawani membagi fase perkembangan agama pada masa anak menjadi empat bagian
, yaitu :
1. Fase dalam kandungan, pada fase ini seorang bayi yang
berada dalam kadungan sudah berjanji pada Rabbnya.
2. Fase Bayi, isyarat pengenalan keagamaan
tercermin pada memperdengarkan suara adzan pada telinga bayi.
3. Fase Kanak-kanak, pada masa ini anak
mengenal Tuhan melalui ucapan-ucapan orang-orang disekelilingnya. Anak pada
usia ini tidak memahami dalam melaksanakan ajaran agama Islam, akan tetapi
disinilah peran orang tua sangat penting untuk membimbing dan mengenalkan serta
mengarahkan mengenai tindakan-tindakan keagamaan pada anak untuk perkembangan
agama anak pada masa selanjutnya.
4. Fase Masa anak Sekolah, di masa ini
dalam jiwa anak telah membawa bekal rasa agama yang terdapat dalam
kepribadiannya dari orang tua.[6]
D. Sifat-Sifat Agama Pada Anak
Bentuk dan sifat
Agama pada diri anak dapat dibagi atas :
1. Unreflective (tidak mendalam)
Dalam penelitian Machion tentang
sejumlah konsep ketuhanan pada diri anak
73% mereka menagangap tuhan itu bersifat seperti manusia. Dengan
demikian anggapan mereka terhadap ajaran Agama dapat saja mereka terima dengan tanpa
kritik.
2. Egosentris
Anda memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun
pertama usia perkembangan nya dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan
pengalamannya.
3. Anthromorphis
Pada umumnya konsep mengenai
ketuhanan pada anak berasal dari hasil pengalamannya dikala ia berhubungan
dengan orang lain. Tapi suatu kenyataan bahwa konsep ketuhanan mreka tampak
jelas menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan.
4. Verbalis dan Ritualis
Dari kenyataan yang kita alami
ternyata kehidupan agama pada anak-anak sebagian besar tumbuh mula-mula secara
Verbal (ucapan).
5. Intatif
Dalam kehidupan
sehari-hari dapat kita saksikan bahwa ttindak keagamaan yang dilakukan oleh
anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru.
6. Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan
sifat keagamaan yang terkhir pada anak.[7]
Komentar