Pelapisan Sosial dan Kesamaan Masyarakat
PELAPISAN
SOSIAL DAN KESAMAAN MASYARAKAT
Setiap
masyarakat yang telah ada atau sedang menjalani masa transisi akan menunjukkan
pola perkembangan yang dipengaruhi oleh gejala-gejala dan masalah-masalah
khusus, berkenaan dengan situasi geografis, ekonomis, dan politis. Salah satu
diantaranya adalah terjadinya pergolakan dan perubahan struktur masyarakat yang
menyangkut perubahan kedudukan golongan-golongan sosial yang mempunyai peranan
dan kekuasaan dalam menentukan arah dari gerak perubahan tersebut.
Perubahan
masyarakat tradisional ke arah modern menimbulkan pergeseran peran serta fungsi
dan lembaga-lembaga lama ke yang baru. Ada yang mempertahankan status quo
dan memandang perubahan sebagai ancaman, dilain pihak terdapat golongan elite
baru yang melancarkan pembaharuan. Pergesaran-pergeseran tersebut melahirkan
sejumlah teori pelapisan sosial, dan sebagainya. Tetapi pada hakikatnya
pelapisan mengacu kepada urutan atau tatanan yang hierarkis seperti
tinggi-rendah, unggul-biasa, superior-interior, priyayi-wong cilik,
kaum-ningrat-rakyat jelata, santri-abangan, selalu tercakup dalam lapisan
sosial. Dan perbedaan itu juga mencerminkan pola masyarakat (social culture) :
masyarakat mengatur kedudukan dan peranan pelaku sosial sesuai dengan pola-pola
tersebut.
Indonesia menjalani
masa penjajahan selama 350 tahun yang penuh dengan penderitaan, menguatkan
perasaan ketidaksetiakawanan dan kesadaran akan kesamaan derajat. Demikianlah
tidak henti-hentinya msyarakat duia manapun memperjuangkan kesamaan derajat,
mengakui kelayakan martabat manusia : manusia adalah ukuran bagi sejalannya
(antroposentris). Banyak tradisi yang mempengaruhi jalan pemikiran manusia
seperti sumbangan Yunanai, Islam (teosentris), tradisi humanistik, sampai
kepada piagam-piagam hak-hak asasi manusia dalam kelayakan martabat, nilai pribadinya,
dan persamaan hak dalam mengusahakan kemajuan sosial dan taraf hidup yang lebih
baik dan kebebasan yang luas.
Oleh karena itu perlu
kejelasan tentang pelapisan sosial persamaan derajat, elite, dan massa, baik
dalam kegiatan maupun sebagai cita-cita atau hubungan antara keduanya. Agar
diketahui maupun sebagai cita-cita atau hubungan antara keduanya. Agar
diketahui dimana letak kewajaran fungsi dan rekonstruksi masyarakat, atau
generasi-generasi mendatang selamat, terhindar dari bencana konflik dan antagonisme.[1]
Pelapisan Sosial
Pelapisan sosial timbul
disebabkan karena kemampuan manusia menilai suatu perbedaan dengan menerapkan
berbagai kriteria artinya dengan menganggap sesuatu itu dihargai maka dapat
menumbuhkan adanya sistem berlapis-lapis dalam masyarakat. Sesuatu yang
dihargai itu dapat berupa uang, ilmu pengetahuan, kesholehan dalam agama, atau
keturunan keluarga yang terhormat. Tingkat kemampuan memiliki sesuatu yang
dihargai tersebut dapat melahirkan lapisan sosial yang mempunyai kedudukan atas
kedudukan rendah.
Proses terjadinya
sistem berlapis-lapis dalam masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya, atau
sengaja disusun untuk mengejar suatu kemajuan bersama. Sistem lapisan sosial
sengaja disusun biasanya mengacu kepada pembagian kekuasaan dan wewenang yang
resmi dalam organisasi formal. Agar dalam masyarakat manusia hidup dengan
teratur, maka kekuasaan dan wewenang yang ada harus dibagi-bagi dengan teratur
dalam suatu organisasi vertikal atau horizontal. Bila tidak, kemungkinan besar
terjadi pertentangan yang dapat membahayakan keutuhan masyarakat.
Ada dua sifat dari
adanya sistem berlapis-berlapis, yaitu :
1. Bersifat
tertutup, pada sistem sifat ini tidak memungkinkan pindahnya orang seorang dan
suatu lapisan ke lapisan yang lain, baik gerak pindahnya ke atas ataupun ke
bawah. Keanggotaan dari suatu lapisan tertutup, diperoleh melalui kelahiran.
Sistem lapisan tertutup dapat dilihat pada masyarakat yang berkasta, dalam satu
masyarakat yang feodal atau pada masyarakat yang sistem berlapis-lapisnya
ditentukan oleh perbedaan rasial.
2. Bersifat
terbuka, pada sistem sifat ini setiap anggota mempunyai kesempatan untuk naik
kelapisan sosial yang lain sesuai dengan kecakakapan yag dimilikinya sendiri,
atau kalau memang tidak beruntung, maka dapat jatuh ke lapisan dibawahnya.[2]
Klas
sebagai Dimensi Pelapisan Sosial
Karl
Marx beranggapan, bahwa masyarakat dan kegiatan-kegiatannya pada dasarnya
merupakan alat-alat yang terorganisasi agar manusia dapat tetap hidup. Disana
klas merupakan kenyataan dalam masyarakat yang timbul dari sistem produksi
yaitu akibat ada anggota masyarakat yang memiliki tanah dan alat-alat produksi,
dan yang tidak mempunyai serta hanya memiliki tenaga untuk disumbangkan dalam
proses produksi. Kriteria lainnya ialah tingkat kebebasan pribadi sebagai
pemisah antara klas-klas yang seharusnya, tetapi hanya dengan memilik kriteria
pemilikan alat produksi menjadi termasuk dalam klas yang sama. Misalnya
dibedakan antara budak dan proletar, yaitu budak menjadi harta atau kekayaan
dari klas lain, sedangkan proletar adalah orang bebas yang dapat menjual tenaga
kerjanya. Jadi dalam hal ini klas digunakan dalam rangka ekonomi, dan berada
dalam pertentangan untuk berebut kekuasaan.
Klas
mempunyai tiga model, yaitu klas yang murni, abstrak, dan klas yang konkret.
Klas yang murni ialah klas yang menguasai hak kuasa atas sarana produksi dan
nilai lebih, dan mereka yang mnguasai langsung melalui pembelian tenaga kerja,
dan yang tidak langsung berkat pemilikan tanah dan modal. Sedangkan klas yang
konkret terdiri dari dua yaitu klas peralihan yang terbentuk didalam suatu
tahap sejarah, dan klas semu seperti petani bebas di Zaman Pertengahan yang
memiliki kepentingan ekonomi tetapi marjinal terhadap hubungan-hubungan klas
yang sentral.
Istilah
klas terkadang tidak terlalu mempunyai arti yang sama. Adakalanya yang dimaksud
dengan klas ialah semua orang dan keluarga yang sadar akan kedudukannya di
dalam suatu lapisan, sedangkan kedudukan mereka itu diketahui serta diakui oleh
masyarakat umum.
Pandagan
lain terhadap klas-klas ada yang menggunakan penilaian fungsional dan historis.
Terbentukya klas-klas, menurut aliran fungsional, di perlukan untuk
menyesuaikan masyarakat dengan keperluan nyata, dan gejalanya dimengerti
apabila diketahui riwayat terjadinya seperti abad ke-19 yaitu sebagai berikut:
1. Pada
awalnya manusia hidup berkelompok tanpa tatanan sosial tertentu. Setiap pribadi
hidup merdeka dan sama derajatnya. Pada saat itu sarana produksi belum tercipta
sehingga penduduk tidak terbagi-bagi atas dasar pemilikan keahlian.
2. Ketika
usaha tani mulai berkembang, dan sumber daya terbatas sehingga menuntut
hadirnya peralatan-peralatan khusus yang pada gilirannya menciptakan
kesempatan-kesempatan baru atas penguasaan alat yang tidak setiap orang mampu
memilikinya. Akibatnya, bagi yang tidak mampu membeli atau menyewa peralatan
mesti bekerja keras atau bekerja bagi yang memiliki peralatan. Secara mendasar
manusia mulai terbagi dan prinsip perbudakan mulai merembes menggeser struktur
dasar.
3. Setelah
masa perbudakan mulai berkembang dan berubah prinsip menjadi kuli kontrak, maka
orang-orang yang dulunya budak perlahan-lahan bergeser statusnya megikuti
pergesan pemilikan lahan. Maksudnya adalah ketika tanah garapan dijual dan
berganti kepemilikan, maka para kuli-kuli pun ikut terbawa didalam tata usaha
pengolahan lahan tersebut.
4. Dengan
adanya prinsip kuli kontrak, maka memberi kesempatan bagi tumbuhnya benih-benih
feodalisme, tata penguasaan pun di tangan minoritas bangsawan. Buruh menjadi
bergantung kepada lahan usaha tempat ia mengandalkan hidupnya dan menjadikan
hak sipil dan hak sosialnya tetaplah
hilang.
5. Ketika
struktur dasar bergeser ke arah prinsip borjuis, yaitu klas menengah yang
memiliki alat dan sarana-sarana produksi, maka pada akhirnya kelompok ini mampu
menguasai industri dan mesin.
6. Kaum
borjuispun akhirnya memperoleh keuntungan yang besar sehingga menimbulkan gejala baru yaitu lapisan sebuah kapitalisme
industri. Perkembangan selanjutnya adalah memberi peluang terhadap terjadinya
pertentangan klas.
Dalam
ilustrasi historis di atas masyarakat terbagi ke dalam dua lapisan utama:
struktur dasar yaitu lapisan di bawah sebagai penyebab, dan suprastruktur, yaitu lapisan di atas yang kebanyakan
berperan sebagai akibat yang ditentukan. Struktur dasar terdiri atas kelompok
mapan yang memainkan peranan utama, misalnya feodalisme dan yang lainnya
menjadi suprastruktur. [3]
Kelompok
Kedudukan sebagai Dimensi Pelapisan Sosial
Kedudukan berbeda dengan klas.
Kedudukan (status group) adalah yang berdasarkan atas kehormatan
kemasyarakatan. Namun dalam pembagian kekuasaan dalam masyarakat, diantara klas
ekonomi dan kelompok kedudukan banyak tali temalinya.
Menurut Weber, status atau kedudukan
merupakan hal yang menyangkut gaya hidup, kehormatan, dan hak-hak istimewa. Kalau
klas berkaitan dengan produksi, maka kedudukan berkaitan dengan konsumsi
barang-barang.
Setiap individu akan mempunyai
banyak kedudukan, karena setiap individu ikut serta mengungkapkan sejumlah
pola. Kedudukan berbeda dngan individu yang mendudukinya, yaitu sekumpulan
hak-hak dan kewajiban yang hanya dapat diwujudkan denga perantara.
Masyarakat pada umumnya
memperkembangkan dua kedudukan yaitu:
1. Ascribe-status yaitu kedudukan
seseorang tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan yang
diperoleh karena kelahiran misalnya bangsawan atau kasta.
2. Achieved-status yaitu kedudukan yang dicapai seseorang dengan
usaha-usaha yang disengaja sesuai dengan kemampuan .
Kedudukan mempunyai kaitan erat dengan peranan
(role), karena peranan meruapakan aspek dinamis dari status, yaitu melaksanakan
hak-hak dan kewajiban yang melekat pada kedudukannya. Keduudkan dan peranan
merupakan jalannya individu mewujudkan
pola-pola ideal bagi kehidupan sosial sekaligus sebagai model pengorganisasian
sikap dan kelakuannya.[4]
Davis
dan Moore (1945) melihat bahwa pelapisan sosial mempunyai fungsi karena pelaku
sosial dalam setiap masyarakat perlu disebar dalam kedudukan tertentu dalam
suatu pola masyarakat. Dalam kedudukan sosial tersebut, pelaku sosial mempunyai
tugas dan memperoleh ganjaran dengan cara-cara tertentu.
Perbedaan
martabat disebabkan dua faktor, yaitu (1) perbedaan pentingnya fungsi kedudukan
dan (2) perbedaan kelangkaan orang yang dapat menempati kedudukan sehubungan
dengan tuntunan peranan dari kedudukan. [5]
Komentar