Peran Orang Tua Terhadap Sikap Keagamaan dan Pola Tingkah Laku
Ada hubungan
kausal antara bagaimana orang tua mendidik anak dengan apa yang diperbuat anak.
Atau ibaratnya apa yang orang tua tabur itulah yang nanti akan dituai. Peran
orang tua dalam mendidik anak tidak dapat tergantikan secara total oleh
lembaga-lembaga persekolahan atau institusi formal lainnya. Karena bagaimanapun
juga tanggung jawab mendidik anak ada pada pundak orang tua.
Para
ahli didik melihat adanya peran sentral para orang tua sebagai pemberi dasar
keagamaan kepada anaknya. Pengenalan ajaran agama kepada anak sejak usia dini
bagaimanapun akan berpengaruh dalam membentuk kesadaran dan pengalaman agama
pada diri anak. Karenanya, rasul menempatkan peran orang tua pada posisi
sebagai penentu bagi pembentukan sikap dan pola tingkah laku keagamaan seorang
anak. Setiap anak dilahirkan atas fitrah dan tanggung jawab kedua orang
tuanyalah untuk menjadikan anak itu Nasrani, Yahudi, atau Majusi. Sebagaimana
hadis berikut ini:
عَنْ أبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللهُ عَنْهُ قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلّمَ مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إلاَّ يُوْلَدُ عَلَى
الْفِطْرَةِ فَأَ بَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أوْيُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيْمَةُ بَهِيْمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّوْنَ فِيْهَا مِنْ
جَدْعَاءَ ثُمَّ يَقُوْلُ آَبُوْ هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ (فِطْرَةَ اللهِ
الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَتَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ
الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ( أخرجه البخاري في كتاب الجنائز )
Artinya: “Dari (Abu) Hurairah ra. Dia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
tidak ada seorang anakpun kecuali ia dilahirkan menurut fitrah. kedua orang tuanyalah
yang akan menjadikan yahudi, nasrani, dan majusi sebagaimana binatang
melahirkan binatang dalam keadaan sempurna. Adakah kamu merasa kekurangan
padanya. Kemudian abu hurairah ra. berkata : “fitrah Allah dimana manusia telah
diciptakan tak ada perubahan pada fitrah Allah itu. Itulah agama yang
lurus” (HR al-bukhari dalam kitab
jenazah).[1]
Kata fithrah berasal
dari bahasa arab فَطَر yang artinya
sifat bawaan setiap sesuatu dari awal penciptaannya, atau bisa juga berarti
sifat dasar manusia atau agama. Al-Ghazali memberikan
penjelasan bahwa tiap individu lahir bagaikan kertas putih dan lingkungannyalah
yang mengisi kertas itu, dengan pengalaman dari lingkungan dan dari lingkungan
itu menentukan pribadi seseorang, terutama lingkungan keluarganya.
Sedangkan yang dimaksud
fitrah Allah adalah bahwa manusia diciptakan Allah memiliki nilai beragama,
yaitu agama tauhid. Jika meraka tidak beragama tauhid itu karena pengaruh
lingkungannya, di sini peranan pembiasaan, pengajaran dan pendidikan dalam
pertumbuhan perkembangan anak yang mempengaruhi anak dalam menemukan tauhid
yang murni, keutamaan budi pekerti, spiritual, dan etika agama yang lurus.
Dalam hal ini, faktor pendidikan yang baik yang utama dan faktor lingkungan
yang mendukung. Yang akan menentukan anak untuk tumbuh sebagaimana mestinya.[2]
Dengan adanya potensi bawaan manusia
yaitu fitrah, yang diartikan sebagai potensi untuk bertauhid. Kajian psikologi
transpersonal berpendapat bahwa jiwa keagamaan sebagai potensi dan daya psikis
manusia, mereka mengakui adanya potensi-potensi luhur (the highest
potensials) dan fenomena kesadaran (states of consciousness)
manusia. Telaah psikologi agama tampaknya sudah mulai menyadari potensi-potensi
dan daya psikis manusia yang berkaitan dengan kehidupan spiritual.
Bila disimpulkan telaah dan
pandangan yang ada bahwa jiwa keagamaan sebenarnya merupakan bagian dari
komponen intern psikis manusia. Pembentukan kesadaran agama pada diri seseorang
pada hakikatnya tak lebih dari usaha untuk menumbuh dan mengembangkan potensi
dan daya psikis. Namun yang menjadi permasalahan krusial adalah bagaimana usaha
yang dilakukan agar bimbingan yang diberikan sejalan dengan hakikat potensial
yang luhur tersebut.
Berdasarkan konsep yang telah
dijelaskan, barangkali pemahaman sifat-sifat dasar yang merupakan ciri khas
yang ada pada manusia dapat dikaitkan dengan konsep fitrah dalam pandangan
Islam. Jika hal ini dapat diterima, maka pembentukan sikap dan tingkah laku
keagamaan dapat dilakukan sejalan dengan fitrah tersebut bila situasi
lingkungan dibentuk sesuai dengan ketentuan ajaran agama yang prinsipil, yaitu
ketauhidan.[3]
[1]
Abi
Hasan Nuruddin, dan Muhammad ibni Abdul Hadi Assindi, Shahih
Bukhari, (Lebanon: Darul Kutub Al-ilmiah, 2008) h. 457.
[2]
Jamal AR, Mendidik Anak Menurut Rasulullah, Usia 0-3 Tahun, (Semarang:
Pustaka, Nuun, 2008), h. 23.
[3]
Jalaludin, Psikologi Agama (jakarta Utara : PT. Raja grafindo Persada, 1996)., h.
190-191
Komentar