Hakikat Manusia Menurut Islam
Pada hakekatnya manusia diciptakan Allah
SWT di dunia ini bukan secara main-main (Surah Al-Mu'minuun ayat 115),
melainkan untuk mengemban amanah atau tugas utama yakni mengabdi atau beribadah
semata mata kepada Allah SWT (Surah Adz- Dzaariyaat ayat 56).
Allah SWT telah menciptakan manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya, namun manusia akan dikembalikan ke tempat yang
serendah-rendahnya (neraka), kecuali mereka yang beriman dan mengerjakan amal
saleh (Surah At Tiin ayat 4 − 6). Padahal sesungguhnya, Allah SWT menciptakan
manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah yang kemudian dijadikan−Nya
saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim), kemudian
air mani itu dijadikan−Nya segumpal darah, lalu segumpal darah itu menjadi
segumpal daging, dan segumpal daging itu menjadi tulang belulang, lalu tulang
belulang itu dibungkus−Nya dengan daging, kemudian Dijadikan−Nya makhluk yang
(berbentuk) lain. Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik (Surat Al
Mu'minuun ayat 12 − 14).
Sebelum penciptaan manusia tersebut Allah
SWT telah Menghendaki manusia menjadi Khalifah Allah di muka bumi ini (Surah Al
Baqarah ayat 30). Allah telah memuliakan manusia dengan memberi mereka rezki
dari yang baik-baik dan melebihkan manusia dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk (lain) yang telah Allah SWT ciptakan (Surah Al Israa' ayat
70). Disamping itu, Dia meninggikan sebahagian manusia atas sebahagian (yang
lain) beberapa derajat, antara lain dengan menjadikan penguasa-penguasa di
bumi, untuk mengujinya (Surah Al An'am ayat 165).
Agar fungsi dan tujuan diciptakan−Nya
manusia tersebut dapat dijalankan dengan baik maka Allah SWT telah menurunkan
petunjuk dan peraturan-peraturan (Syariat) hidup bagi seluruh manusia, melalui
perantara nabi-nabi dan rasul untuk menyampaikan ayat atau peraturan agar
manusia mendapat Petunjuk-Nya (Surah Ali 'Imran ayat 164).[1]
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat
dipahami bahwasanya Allah SWT begitu memuliakan manusia dari pada para
malaikat, jin, dan sejenisnya. Allah SWT juga memberikan peran yang begitu
penting kepada manusia di dunia ini.
A.
Konsep Manusia
Kehadiran manusia pertama tidak terlepas
dari asal usul kehidupan di alam semesta. Asal usul manusia menurut ilmu
pengetahuan tidak bisa dipisahkan dari teori tentang spesies lain yang telah
ada sebelumnya melalui proses evolusi.
Evolusi menurut para ahli paleontology dapat
dibagi menjadi empat kelompok berdasarkan tingkat evolusinya, yaitu:
1)
Pra
manusia yang fosilnya ditemukan di Johanesburg Afrika Selatan pada tahun 1942
yang dinamakan fosil Australopithecus.
2)
Manusia
kera yang fosilnya ditemukan di Solo pada tahun 1891 yang disebut
pithecanthropus erectus.
3) Manusia
purba, yaitu tahap yang lebih dekat kepada manusia modern yang sudah digolongkan
genus yang sama, yaitu Homo walaupun spesiesnya dibedakan. Fosil jenis ini di
temukan Neander, karena itu disebut Homo Neanderthalesis dan kerabatnya
ditemukan di Solo (Homo Soloensis).
4)
Manusia
modern atau Homo sapiens yang telah pandai berpikir, menggunakan otak dan
nalarnya.[2]
Manusia dalam bahasa Inggris disebut man (asal kata dari bahasa Anglo-Saxon), meskipun arti dasar kata
ini tidak jelas tetapi pada dasarnya dapat dikaitkan dengan mens (bahasa Latin), yang berarti “ada
yang berfikir”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia manusia diartikan sebagai
“makhluk yang berakal budi” (mampu menguasai makhluk yang lain).[3]
Dari sini dapat dipahami bahwasanya yang membedakan antara manusia dengan hewan
itu hanyalah akalnya. Dengan akal inilah manusia akhirnya dapat melahirkan
kebudayaan dan peradaban sehingga membuat mereka nampak berbeda dengan hewan.
Didalam Al-Qur’an diperkenalkan tiga kata istilah untuk pengertian
manusia. Ketiga kata tersebut adalah:
1)
Al-Insan (asal kata nasiya) yang artinya lupa. Kata al-insan
disebut didalam al-qur’an sebanyak 73 kali yang disebut dalam 43 surat. Kata
al-insan juga dapat menunjukkan pada proses kejadian manusia. Jika ditinjau
lebih jauh, maka kata al-insan mengandung dua dimensi. Pertama, dimensi tubuh (dengan berbagai unsurnya). Kedua, dimensi spiritual (ditiupkan-Nya
roh-Nya kepada manusia). Kedua
dimensi tersebut memberikan penegasan bahwa kata al-insan mengandung makna
keistimewaan manusia, sebab manusia memiliki kelebihan dan keistimewaan,
walaupun manusia juga memiliki keterbatasan seperti, tergesa-gesa, kikir,
takut, gelisah, sombong, suka membantah, dan lain-lain.
2)
Basyar (bentuk jamak dari Basyarah) yang artinya kulit kepala,
wajah, dan tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut. Dengan demikian, kata
basyar selalu mengacu kepada manusia dari aspek biologis, seperti mempunyai
bentuk tubuh, makan dan minum, kebutuhan seks dan mati. Kata basyar ditunjukkan
kepada seluruh manusia tanpa tekecuali. Dengan ini mengisyaratkan bahwa nabi
dan rasul pun memiliki dimensi al-basyar.
3)
An-naas, kata an-naas ini
disebutkan sebanyak 241 kali didalam al-qur’an yang tersebar dalam 53 surat.
Kata an-naas ini mengisyaratkan pada hakekat manusia sebagai makhluk social dan
ditunjukkan kepada seluruh manusia secara umum, baik beriman ataupun kafir.[4]
Manusia pada hakekatnya sama
saja dengan mahluk hidup lainnya, yaitu memiliki hasrat dan tujuan. Ia berjuang
untuk meraih tujuannya dengan didukung oleh pengetahuan dan kesadaran.
Perbedaan diantara keduanya terletak pada dimensi pengetahuan, kesadaran dan
keunggulan yang dimiliki manusia dibanding dengan mahluk lain.
Manusia sebagai salah satu mahluk yang hidup di muka bumi merupakan
mahluk yang memiliki karakter paling unik. Manusia secara fisik tidak begitu
berbeda dengan binatang, sehingga para pemikir menyamakan dengan binatang.
Letak perbedaan yang paling utama antara manusia dengan makhluk lainnya adalah
dalam kemampuannya melahirkan kebudayaan. Kebudayaan hanya manusia saja yang
memlikinya, sedangkan binatang hanya memiliki kebiasaan-kebiasaan yang bersifat
instinctif.
Kelebihan manusia dibanding dengan makhluk lainnya adalah adanya
kemampuan untuk bergerak dalam ruang yang bagaimanapun, baik di darat, di laut,
maupun di udara. Sedangkan binatang hanya mampu bergerak di ruang yang
terbatas. Walaupun ada binatang yang bergerak di darat dan di laut, namun tetap
saja mempunyai keterbatasan dan tidak bisa melampaui manusia. Mengenai
kelebihan manusia atau makhluk lain dijelaskan dalam Q.S Al-Isra ayat 70, yang artinya “Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam,
kami angkut mereka di daratan dan di lautan. kami beri mereka rezki dari yang
baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas
kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan”
Disamping itu, manusia
diberi akal dan hati, sehingga dapat memahami ilmu yang diturunkan Allah,
berupa al-Quran dan sunah rasul. Dengan ilmu manusia mampu berbudaya. Allah
menciptakan manusia dalam keadaan sebaik-baiknya seperti ditegaskan dalam Q.S.
At-Tiin ayat 4 yang artinya “Sesungguhnya kami Telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”
Selain itu, manusia akan
bermartabat mulia kalau mereka sebagai khalifah tetap hidup dengan ajaran Allah
seperti dijelaskan pada QS. Al-An’am yang artinya “Dan dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di
bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa
derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya
Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”
B.
Tujuan Penciptaan Manusia
Setiap penciptaan
sesuatu pastilah mempunyai tujuan. Seperti itu pula ketika Allah menciptakan
manusia. Hal itu telah ditegaskan di dalam Q.S Ali-Imran ayat 191 yang artinya “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah
Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami
dari siksa neraka”
Dalam Al Qur’an
disebutkan bahwa tujuan penciptaan manusia ada 3 (tiga) yaitu:
1)
Menjadi Abdi Allah
Salah
satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk menjadi abdi Allah, hal ini telah
disebutkan dalam Q.S. Adz-Dzariyaat ayat 56, yang artinya “ Dan Aku tidak menciptakan
jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. Menjadi abdi Allah berarti hanya bersedia mengabdi kepada Allah
Ta’ala dengan menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya. Tidak mau
mengabdi kepada selain Allah Ta’ala, termasuk di dalamnya mengabdi kepada hawa
nafsu dan syahwat. Melepaskan diri dari perbudakan hawa nafsu dan syahwat
merupakan bagian dari tahapan pertaubatan yang harus dilakukan.
2)
Menjadi Saksi Allah
Sebelum
lahir ke dunia ini manusia berjanji kepada Allah Ta’ala di alam Alastu, mempersaksikan
bahwa hanya Allah-lah Rabb-nya. Yang demikian dilakukan
agar manusia tidak ingkar di hari akhir nanti. Sebagaimana disebutkan dalam Q.S
Al A'raaf ayat 172, yang artinya “Dan (ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku
Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami
menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu
tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang
lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)".
3)
Menjadi Khalifah Allah
Khalifah Allah sebenarnya
adalah perwakilan Allah untuk memakmurkan bumi. Banyak yang salah mengira bahwa menjadi khalifah berarti ‘menguasai’. Adam A.S bukanlah
manusia pertama, tetapi ia adalah khalifah pertama. Hal ini bisa dilihat pada
Q.S Ali-Imran ayat 30 yang artinya “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada
para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui."
Untuk
bertugas sebagai khalifah, bukan berarti harus selalu dibentuknya sebuah sistem
pemerintah berlabelkan Islam. Sebenarnya tiap individu
dapat berperan sebagai khalifah Allah di muka bumi ini secara individual,
karena sesungguhnya seorang manusia baru berfungsi sebagai khalifah, adalah
ketika ia berkarya di bumi ini berdasarkan misi untuk berbuat yang Allah telah
tentukan kepadanya di alam Alastu.[5]
Ketika seorang berkarya di bumi ini sesuai
dengan Misi Hidup nya, maka secara langsung ia telah berkarya sesuai dengan apa
yang Allah kehendaki padanya. Maka secara langsung pula ia telah menjadi Abdi
Allah secara hakiki.
C.
Fungsi Manusia
Allah SWT menciptakan alam semesta dan tentunya telah menentukan
fungsi-fungsi dari setiap elemen alam ini. Seperti itu juga penciptaan
manusia, fungsinya telah ditentukan oleh Allah SWT.
Bagi seorang atheis, manusia tak lebih dari fenomena alam seperti makhluk
yang lain. Oleh karena itu, manusia menurut mereka hadir di muka bumi secara
alamiah dan akan hilang secara alamiah. Apa yang dialami manusia, seperti
peperangan dan bencana alam yang menyebabkan banyak orang mati, adalah tak
lebih sebagai peristiwa alam yang tidak perlu diambil pelajaran atau
dihubungkan dengan kejahatan dan dosa, karena dibalik kehidupan ini tidak ada
apa-apa, tidak ada Tuhan yang mengatur, tidak ada sorga atau neraka, seluruh
kehidupan adalah peristiwa alam. Bagi orang atheis fungsi manusia tak berbeda
dengan fungsi hewan atau tumbuh-tumbuhan, yaitu sebagai bagian dari alam.
Bagi orang yang menganut faham sekuler, manusia adalah pemilik alam
yang boleh mengunakannya sesuai dengan keperluan. Manusia berhak mengatur tata
kehidupan di dunia ini sesuai dengan apa yang dipandang perlu, dipandang baik
dan masuk akal karena manusia memiliki akal yang bisa mengatur diri sendiri dan
memutuskan apa yang dipandang perlu. Mungkin dunia dan manusia diciptakan oleh
Tuhan, tetapi kehidupan dunia adalah urusan manusia, yang tidak perlu dicampuri
oleh agama. Agama adalah urusan individu setiap orang yang tidak perlu
dicampuri oleh orang lain apa lagi oleh negara.
Bagi orang Islam, manusia memiliki dua fungsi, yaitu sebagai hamba
Allah (`abdullah) dan sebagai wakil Allah (khalifatullah) di muka bumi. Sebagai
hamba Allah, manusia adalah kecil dan tak memiliki kekuasaan. Oleh karena itu,
tugasnya hanya menyembah kepada-Nya dan berpasrah diri kepada-Nya. Tetapi
sebagai khalifatullah, manusia diberi fungsi sangat besar, karena Allah Maha
Besar maka manusia sebagai wakil-Nya di muka bumi memiliki tanggung jawab dan
otoritas yang sangat besar.[6]
D. Tanggung
Jawab Manusia Sebagai Hamba Allah
Tanggung jawab manusia sebagai hamba Allah
terhadap dirinya adalah memelihara iman yang dimilikinya. Tanggung jawab
terhadap keluarga merupakan lanjutan dari tanggungjawab terhadap diri sendiri.
Oleh karena itu, dalam al-Qur’an dinyatakan dengan quu anfusakum waahliikum
naaran (jagalah dirimu dan keluargamu, dengan iman dari neraka).
Allah dengan ajaranNya Al-Qur’an menurut
sunah rosul, memerintahkan hambaNya untuk berlaku adil dan ikhsan. Oleh karena
itu, tanggung jawab hamba Allah adalah menegakkan keadilan, baik terhadap diri
sendiri maupun terhadap keluarga. Dengan berpedoman dengan ajaran Allah,
seorang hamba berupaya mencegah kekejian moral dan kemungkaran yang mengancam
diri dan keluarganya. Oleh karena itu, seorang hamba Allah harus senantiasa
melaksanakan solat dalam rangka menghindarkan diri dari kekejian dan kemungkaran.
Demikianlah tanggung jawab hamba Allah
yang senantiasa tunduk dan patuh terhadap ajaran Allah menurut Sunnah Rasul.[7]
E.
Tanggung Jawab Manusia Sebagai Khalifatullah
Manusia diserahi tugas hidup yang merupakan
amanat Allah dan harus dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Tugas hidup yang
dipikul manusia di muka bumi adalah tugas kekhalifahan, yaitu tugas
kepemimpinan sebagai wakil Allah di muka bumi, serta pengelolaan dan
pemeliharaan alam.
Khalifah berarti wakil atau pengganti yang
memegang mandat Tuhan untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi. Kekuasaan yang
diberikan kepada manusia bersifat kreatif, yang memungkinkan dirinya serta
mendayagunakan apa yang ada di muka bumi untuk kepentingan hidupnya. Khalifah
adalah satu keistimewaan yang besar dan hanya diberikan kepada manusia dan
tidak diberikan kepada malaikat, jauh lagi untuk diberikan kepada jin.
Sebagai khalifah, manusia diberi wewenang
berupa kebebasan memilih dan menentukan, sehingga kebebasannya melahirkan
kreatifitas yang dinamis. Kebebasan manusia sebagai khalifah bertumpu pada
landasan tauhidullah, sehingga kebebasan yang dimiliki tidak menjadikan manusia
bertindak sewenang-wenang.
Selain itu, sebagai khalifah manusia diberi
tangung jawab pengelolaan alam semesta untuk kesejahteraan ummat manusia,
karena alam semesta memang diciptakan Allah untuk manusia. Sebagai hamba
manusia adalah kecil, tetapi sebagai khalifah Allah, manusia memiliki fungsi
yang sangat besar dalam menegakkan sendi-sendi kehidupan di muka bumi. Oleh
karena itu, manusia dilengkapi Tuhan dengan kelengkapan psikologis yang sangat
sempurna, akal, hati, syahwat dan hawa nafsu, yang kesemuanya sangat memadai
bagi manusia untuk menjadi makhluk yang sangat terhormat dan mulia, disamping
juga sangat potensil untuk terjerumus hingga pada posisi lebih rendah dibanding
binatang
Kekuasaan manusia sebagai khalifah dibatasi
oleh aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh yang
diwakilinya, yaitu hukum-hukum baik yang tertulis dalam kitab suci (al-Qur’an),
maupun yang tersirat dalam kandungan alam semesta (al-kaun). Seorang wakil yang
melanggar batas ketentuan yang diwakili adalah wakil yang mengingkari kedudukan
dan peranannya, serta mengkhianati kepercayaan yang diwakilinya. Oleh karena
itu, ia diminta pertanggungjawaban terhadap penggunaan kewenangannya di hadapan
yang diwakilinya, sebagaimana firman Allah dalam Q.S Faathir ayat 39 yang artinya “Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka
bumi. barangsiapa yang kafir, Maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya
sendiri. dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan
menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu
tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka”
Kedudukan manusia di muka
bumi sebagai khalifah dan juga sebagai hamba allah, bukanlah dua hal yang
bertentangan, melainkan suatu kesatuan yang padu dan tak terpisahkan. Kekhalifahan adalah realisasi dari pengabdian kepada allah yang
menciptakannya.
Dua sisi tugas dan tanggung jawab ini
tertata dalam diri setiap muslim sedemikian rupa. Apabila terjadi
ketidakseimbangan, maka akan lahir sifat-sifat tertentu yang menyebabkan
derajad manusia meluncur jatuh ketingkat yang paling rendah.[8]
- http://newsgroups.derkeiler.com/pdf/Archive/Soc/soc.culture.indonesia/2007-03/msg01509.pdf. 07/10/2011
- http://www.membuatblog.web.id/2010/02/pengertian-hakikat-manusia.html, 05/10/2011
- A. Haris Hermawan, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2009), h. 40
- Ibid., h. 44-45
- http://suluk.blogsome.com/2005/02/26/tujuan-diciptakannya-manusia/, 07/10/2011
- http://zaldym.wordpress.com/2010/02/28/fungsi-manusia-sebagai-khalifah-di-muka-bumi/
- http://www.membuatblog.web.id/2010/02/pengertian-hakikat-manusia.html. 05/07/2011
- http://www.membuatblog.web.id/2010/02/pengertian-hakikat-manusia.html, 05/07/2011
Komentar