Manusia dalam Filsafat
1.
Pengertian
Manusia
Berbicara tentang manusia, hidup, arti, dan peranan keberadaannya
adalah selalu aktual. Sebab sampai sekarang ini manusia tetap menjadi sentral
pembahasan dalam berbagai masalah. Peristiwa besar macam apapun yang ada
didunia ini dan masalah apapun yang harus dipecahkan dibumi kita ini, pada
hakikatnya harus berhubungan dengan manusia. Untuk membangun ilmu manusia,
manusia harus ditempatkan pada kehidupan nyata dan kebudayaannya. Bangunan ilmu manusia dapat disajikan dalam
gambar berikut ini;
[6]
Manusia secara bahasa disebut juga insan, yang dalam bahasa
arabnya berasal dari kata nasiya yang berarti lupa, dan jika dilihat
dari kata dasar nya yaitu “al-uns” yang berarti jinak. Kata insan
dipakai untuk menyebut manusia, karena manusia memiliki sifat lupa dan jinak
artinya manusia selalu menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru disekitarnya.
Manusia dan cara keberadaannya yang sekaligus membedakannya secara nyata dengan
mahluk yang lain. Seperti dalam kenyataannya manusia adalah mahluk yang berjalan
diatas dua kaki, dan mempunyai kemampuan berfikir. Kemampuan berfikir tersebut
yang menentukan akan hakekat manusia. Manusia juga memiliki karya yang
dihasilkan sehingga berbeda dengan mahluk yang lain. Manusia dalam memiliki
karya dapat dilihat dalam setting sejarah dan setting psikologis situasi
emosional dan intelektual yang melatarbelakangi karyanya. Dari karya yang
dibuat manusia tersebut menjadikan ia sebagai mahluk yang menciptakan sejarah.[1]
Manusia
adalah pencipta dan pemecah problem; dari dirinya problem itu muncul dan
dipecahkan. Satu problem dipecahkan, problem yang lainnya diciptakan. Dengan
demikian manusia itu hidup di atas “tumpukan problem”, makin panjang umur
seorang manusia dan makin tinggi status dan derajatnya maka akan makin banyak pula
problem yang dihadapinya.[2]
Immanuel Kant memandang bahwa
manusia adalah hasil dari rangkuman tiga pertanyaan, yaitu:
1) Apa yang bisa kukenal atau epistemologi.
2) Apa yang harus ke perbuat yaitu etis.
3) Apa yang harus ku harapkan atau religius.[3]
Menurut Descrates (1596-1650),
manusia adalah makhluk yang berfikir (cogito). Keraguan tentang
keberadaanya dijawab dengan cogito
ergo sum, aku berpikir, maka aku ada. Manusia menemukan kepastian
keberdaanya karena berpikir. Main de Biran menjelaskan bahwa manusia adalah
makhluk aku mau (volo), artinya makhluk yang memiliki kehendak yang
ingin diwujudkan melalui tindakan. Karl max memberi pengertian tentang manusia
adalah makhluk yang bekerja, dalam pekerjaan harus menjadi milik bersama.
Menurut paham eksistensialisme, manusia adalah adalah makhluk yang menemukan
dirinya didunia dan terarah kepada sesamanya. Manusia dapat disebut makhluk
paradok, karena semua manusia termasuk dalam dunia alam sekaligus bertrandensi
terhadapnya; manusia bebas dan terikat; manusia otonom dan tergantung; manusia
terbatas dan tidak terbatas; manusia individu dan person; manusia duniawai dan
ilahi; rohaniah dan jasmaniah; fana dan baka; semua mengandung dua kebenaran
yang bertentangan. Manusia juga dapat dikatakan makhluk dinamis, membangun relasi
dengan lingkungan untuk mengembangkan dirinya. Di samping itu manusia sebagai
makhluk multidimensi, artinya manusia dalam satu kesatuan yang didalamnya
terdapat berbagai dimensi yang saling bertentangan. Aristoteles mengatakan
manusia adalah animal rationalae, yang artinya hewan yang berakal budi,
kemudian pengertian itu berkembang menjadi manusia adalah animal loquens artinya
makhluk yang berbicara.[4]
Nampaknya jika memikirkan tentang manusia
maka yang tergambar dalam pikiran adalah berbagai macam persfektif tentang
manusia, Dalam kehidupan sehari-hari, manusia dipandang sebagai:
1) Manusia sebagai makhluk alamiah, yaitu makhluk yang
merupakan bagian dari alam; secara biologis hidup, tumbuh, berkembang, dan mati
secara alamiah.
2) Manusia sebagai makhluk produktif, yaitu makhluk yang
bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan menyempurnakan dirinya. Dalam kerja
manusia, manusia dicipta oleh lingkungan kerjanya menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Manusia yang estetik yaitu bahwa hasil kerja menjadi sesuatu yang mengagumkan.
b. Manusia etik yaitu bahwa dalam pekerjaan ia harus
mengambil keputusan dan bertanggung jawab.
c. Manusia religius yaitu bahwa dalam pekerjaan mereka
menghayati kehidupannya.
3) Manusia sebagai homo mensura, yaitu manusia menjadi
ukuran segala yang ada sehingga ia menjadi :
a. Makhluk epestemis yaitu makhluk yang mampu menjawab apa
yang kukenal.
b. Makhluk etis yaitu makhluk yang mampu menjawab apa yang
kuperbuat.
c. Makhluk religius yaitu makhluk yang mampu menjawab apa
yang kuharapkan.
4) Manusia sebagai makhluk partisipasi aktif, yaitu makhluk
yang mampu bekerjasama dengan orang lain
5) Manusia sebagai makhluk kontektualisasi progresif, yaitu
makhluk yang mampu memecahkan masalah sesuai dengan konteknya.
6) Manusia sebagai makhluk terpesona, yaitu makhluk yang
terpesona oleh kekuatan alam dan ciptaanya sendiri.
7) Manusia sebagai makhluk budak, yaitu makhluk yang menjadi
fungsi dari hasil ciptaanya sendiri.
8) Manusia sebagai emotional intelligence, yaitu makhluk
yang memiliki kecakapan emosi yang mampu melahirkan bahasa, mitos, religi, dan
seni.
9) Manusia sebagai homo ludens, yaitu makhluk yang mampu
menciptakan permainan dengan alam dan sesama manusia. Dari permainan itu dapat
merusak alam dan merusak moral manusia lain.
10) Manusia sebagai homo faber, yaitu makhluk yang mampu
mencipta peralatan kerja.
11) Manusia sebagai homo sapiens, yaitu makhluk yang mampu
berfikir sehingga mampu mencipta ilmu pengetahuan dan teknologi.
12) Manusia sebagai homo economics, yaitu makhluk yang
mencintai kekayaan dan menganggap bahwa kekayaan adalah ukuran segala-galanya.
13) Manusia sebagai homo ekology, yaitu makhluk yang mampu bersatu dengan alam, mengolahnya, dan
melestarikannya.
14) Homo simbolicum, yaitu makhluk yang mampu mencipta
simbol, makna, nilai sebagai alat komunikasi.
15) Zoon politikon, yaitu makhluk yang mampu berpolitik,
merebut, mempertahankan, dan mewariskan kekuasaan.
16) Kesatuan jiwa dan raga, yaitu makhluk yang menganggap
bahwa jiwa itu primer menurut dimensi religius dan raga itu primer menurut
dimensi biologis.
17) Manusia sebagai makhluk bingung, yaitu makhluk yang
mempunyai banyak masalah yang harus dipikirkan dan dipecahkan dan tidak
mengetahui mana masalah yang pokok dan yang tidak pokok.[5]
[6]
Dari gambar diatas,
dapat dipahami bahwa dasar dari ilmu manusia adalah kehidupan nyata. Jadi,
titik tolak memahami manusia adalah bahwa bukanlah manusia hasil dari
interpretasi para pemikir, tetapi manusia dalam kehidupan nyata, yaitu manusia
kongkrit yang dapat kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kontek
kehidupan nyata akan terungkap realitas manusia individual yang tidak dapat
disamaratakan dan tidak dapat dipahami dengan dalil-dalil umum. Karena secara
individual, manusia memiliki harkat dan martabat yang berbeda satu sama lain.
Perbedaan ini disebabkan karena mereka hidup dalam ruang dan waktu yang
berbeda. Orientasi yang demikian tidak mengacu pada manusia abstrak dan manusia
yang diabtraksikan sebagai titik tolaknya, sebab manusia yang demikian itu
tidak mampu menampilkan keberadaannya secara menyeluruh karena ia telah
direduksi oleh kekuatan pikiran.[7]
Selanjutnya yang
menjadi dasar ilmu manusia adalah kebudayaan. Kebudayaan merupakan seperangkat
nilai-nilai yang menjadi landasan bersikap, berpikir dan berperilaku terhadap
lingkungan dimana manusia itu lahir dan dibesarkan. Kebudayaan merupakan
identitas manusia dengan kelompoknya. Melalui kebudayaan, sesuatu kelompok,
suku, bangsa dapat dilihat kualitasnya dalam pengolahan benda-benda duniawi
menjadi benda-benda manusiawi sebagai sarana pemenuhan kebutuhan hidupnya. Oleh
sebab itu kebudayaan harus dinilai dan diukur secara “otonom”, yaitu pengukuran
dan penilaian menurut azas dan tujuan
yang terkandung dalam kebudayaan itu sendiri.[8]
Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat menjumpai berbagai macam kebudayaan,
yang berujud benda, perilaku, pengetahuan, dan tata nilai. Manusia bekerja
untuk mencari nafkah; belajar untuk menuntut ilmu; menari untuk mengungkapkan
kegembiraan. Bekerja, belajar, menari adalah tingkah laku manusia yang
mempunyai nilai kultural yaitu gabungan nilai sosial, estetis, dan nilai etis.
Ketiga bentuk itu merupakan unsur hakiki dalam kebudayaan, dimana satu dengan lainnya saling berhubungan. Akhirnya
kebudayaan dapat dipahami sebagai usaha manusia untuk menjadi manusia atau
proses kemanusiaan manusia itu sendiri.
2. Hakikat Manusia
Hakikat adalah sesuatu yang mendasar, suatu esensi,
yang substansial, yang hakiki yang penting, yang diutamakan. Dengan kata lain,
hakikat adalah sesuatu yang mesti ada pada sesuatu yang jika sesuatu itu tidak
ada maka sesuatu itu pun tidak wujud/ada. Jadi, hakikat manusia adalah sesuatu
yang pasti ada pada manusia.
Upaya pemahaman hakekat manusia sudah dilakukan sejak
dahulu. Namun, hingga saat ini belum mendapat pernyataan
yang benar-benar tepat dan pas, dikarenakan manusia itu sendiri
yang memang unik, antara manusia satu dengan manusia lain berbeda-beda. Bahkan
orang kembar identik sekalipun, mereka pasti memiliki perbedaaan. Mulai dari
fisik, ideologi, pemahaman, kepentingan dan sebagainya. Semua itu menyebabkan
suatu pernyataan belum tentu pas untuk di setujui oleh sebagian orang.
Setidaknya terdapat empat aliran pemikiran yang berkaitan
tentang masalah rohani dan jasmani (sudut pandang unsur pembentuk manusia)
yaitu: Aliran serba zat, aliran serba ruh, aliran dualisme, dan aliran eksistensialisme.
1)
Aliran
Serba zat (Faham Materialisme)
Aliran serba zat ini mengatakan yang sungguh-sunguh ada itu
adalah zat atau materi, alam ini adalah zat atau materi dan manusia adalah
unsur dari alam, maka dari itu manusia adalah zat atau materi. Manusia ialah
apa yang nampak sebagai wujudnya, terdiri atas zat (darah, daging, tulang).
Jadi, aliran ini lebih berpemahaman bahwa esensi manusia
adalah lebih kepada zat atau materinya. Manusia bergerak menggunakan organ,
makan dengan tangan, berjalan dengan kaki, dan lain-lain. Semua serba zat atau
meteri. Berdasar aliran ini, maka dalam pendidikan manusia harus melalui proses
mengalami atau pratek (psikomotor).
2)
Aliran
Serba Ruh (Idealisme)
Dalam buku lain, aliran ini diberi nama Aliran
Idealisme. Aliran ini berpendapat bahwa segala hakikat sesuatu yang ada di
dunia ini adalah ruh, juga hakekat manusia adalah ruh. Ruh
disini bisa diartikan juga sebagai jiwa, mental, juga rasio/akal. Karena itu,
jasmani atau tubuh (materi, zat) merupakan alat jiwa untuk melaksanakan tujuan,
keinginan dan dorongan jiwa (rohani, spirit, ratio) manusia.
Jadi, aliran ini beranggapan bahwa yang menggerakkan tubuh
itu adalah ruh atau jiwa. Tanpa ruh atau jiwa maka jasmani, raga atau fisik
manusia akan mati, sia-sia dan tidak berdaya sama sekali. Dalam pendidikan,
maka tidak hanya aspek pengalaman saja yang diutamakan, faktor dalam seperti
potensi bawaan (intelegensi, rasio, kemauan dan perasaan) memerlukan perhatian
juga.
3)
Aliran
Dualisme
Aliran ini menganggap bahwa manusia itu pada hakekatnya
terdiri dari dua substansi, yaitu jasmani dan rohani. Aliran ini melihat
realita semesta sebagai sintesa kedua kategori animate dan inanimate, makhluk
hidup dan benda mati. Demikian pula manusia merupakan kesatuan rohani dan
jasmani, jiwa dan raga. Misalnya ada
persoalan: dimana letaknya mind (jiwa, rasio) dalam pribadi manusia. Mungkin
jawaban umum akan menyatakan bahwa ratio itu terletak pada otak. Akan tetapi akan
timbul problem, bagaiman mungkin suatu immaterial entity (sesuatu yang
non-meterial) yang tiada membutuhkan ruang, dapat ditempatkan pada suatu materi
(tubuh jasmani) yang berada pada ruang wadah tertentu.
Jadi, aliran ini meyakini bahwa sesungguhnya manusia tidak
dapat dipisahkan antara zat/raga dan ruh/jiwa. Karena pada hakekatnya keduanya
tidak dapat dipisahkan. Masing-masing memiliki peranan yang sama-sama sangat
vital. Jiwa tanpa ruh ia akan mati, ruh tanpa jiwa ia tidak dapat berbuat apa-apa.
Dalam pendidikan pun, harus memaksimalkan kedua unsur ini, tidak hanya salah
satu saja karena keduanya sangat penting.
4)
Aliran
Eksistensialisme
Aliran filsafat modern berpikir tentang hakekat manusia
merupakan eksistensi atau perwujudan sesungguhnya dari manusia. Jadi intinya
hakikat manusia itu yaitu apa yang menguasai manusia secara menyeluruh. Disini
manusia dipandang dari serba zat, serba ruh atau dualisme dari kedua aliran
itu, tetapi memandangnya dari segi eksistensi manusia itu sendiri di dunia.
Dari
segi antropologi terdapat tiga sudut pandang hakekat manusia, yaitu manusia
sebagai makhluk individu, makhluk sosial dan makhluk susila. Berikut penjelasan
dari ketiganya:
1)
Manusia
Sebagai Makhluk Individu (Individual Being)
Dalam bahasa filsafat dinyatakan
self-existence adalah sumber pengertian manusia akan segala sesuatu.
Self-existence ini mencakup pengertian yang amat luas, terutama meliputi:
kesadaran adanya diri diantara semua relita, self-respect, self-narcisme,
egoisme, martabat kepribadian, perbedaan dan persamaan dengan pribadi lain,
khususnya kesadaran akan potensi-potensi pribadi yang menjadi dasar bagi
self-realisasi. Manusia sabagai individu memiliki hak asasi sebagai kodrat
alami atau sebagi anugrah Tuhan kepadanya. Hak asasi manusia sebagai pribadi
itu terutama hak hidup, hak kemerdekaan dan hak milik.
Disadari atau tidak menusia sering
memperlihatkan dirinya sebagai makhluk individu, seperti ketika mereka
memaksakan kehendaknya (egoisme), memecahkan masalahnya sendiri, percaya diri,
dan lain-lain. Menjadi seorang individu manusia mempunyai ciri khasnya
masing-masing. Antara manusia satu dengan yang lain berbeda-beda, bahkan orang
yang kembar sekalipun, karena tidak ada manusia di dunia ini yang benar-benar
sama persis. Fisik boleh sama, tetapi kepribadian tidak.
Jadi dalam pendidikan seorang guru
sangat perlu memahami hakekat manusia sebagai individu. Itu kaitanya dengan
menghargai perbedaan dalam setiap anak didiknya, agar sang guru tidak
semena-mena dan memaksakan kehendaknya (diskriminasi) kepada peserta didik.
Perbedaan itu bisa berupa fisik, intelejensi, sikap, kepribadian, agama, dan
lain-lain.
2) Manusia Sebagai Makhluk Sosial (Sosial
Being)
Telah kita ketahui bersama bahwa
manusia tidak dapat hidup sendirian, manusia membutuhkan manusia lain agar bisa
tetap exsis dalam menjalani kehidupan ini, itu sebabnya manusia juga dikenal
dengan istilah makhluk sosial. Keberadaanya tergantung oleh manusia lain.
Esensi manusia sebagai makhluk
sosial ialah adanya kesadaran manusia tentang status dan posisi dirinya dalam
kehidupan bersama dan bagaimana tanggung jawab dan kewajibannya di dalam
kebersamaan itu. Adanya kesadaran interdependensi dan saling membutuhkan serta
dorongan-dorongan untuk mengabdi sesamanya adalah asas sosialitas itu.
Kehidupan individu di dalam antar hubungan sosial memang tidak usah kehilangan
identitasnya. Sebab, kehidupan sosial adalah realita sama rielnya dengan
kehidupan individu itu sendiri. Individualitas itu dalam perkembangan
selanjutnya akan mencapai kesadaran sosialitas. Tiap manusia akan sadar akan
kebutuhan hidup bersama segera setelah masa kanak-kanak yang egosentris
berakhir.
Seorang guru dalam kegiatan
pembelajaran perlu menanamkan kerjasama kepada peserta didiknya, agar kesadaran
sosial itu dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Hal tersebut dapat dicapai
dengan penerapan strategi dan metode yang tepat, juga dengan pemberian motivasi
tentang kebersamaan.
3) Manusia Sebagai Makhluk Susila (Moral Being)
Asas pandangan bahwa manusia sebagai
makhluk susila bersumber pada kepercayaan bahwa budi nurani manusia secara
apriori adalah sadar nilai dan pengabdi norma-norma. Kesadaran susila (sense of
morality) tak dapat dipisahkan dengan realitas sosial, sebab, justru adanya
nilai-nilai, efektivitas nilai-nilai, berfungsinya nilai-nilai hanyalah di
dalam kehidupan sosial. Artinya, kesusilaan atau moralitas adalah fungsi
sosial. Asas kesadaran nilai, asas moralitas adalah dasar fundamental yanng
membedakan manusia dari pada hidup makhluk-makhluk alamiah yang lain. Rasio dan
budi nurani menjadi dasar adanya kesadaran moral itu.
Ketiga esensi diatas
merupakan satu kesatuan yang tidak terlepaskan dari diri manusia, tinggal ia
sadar atau tidak. Beberapa individu mempunyai kecenderungan terhadap salah satu
esensi itu. Ada yang cenderung esensi pertama yang lebih menonjol, ada yang
kedua dan ada yang ketiga. Semua tergantung pemahaman dan pendidikan yang
dialami oleh si individu tersebut. Fungsi pendidikan adalah mengembangkan
ketiganya secara seimbang. Agar manusia dapat menempatkan diri sesuai situasi
dan kondisi yang sedang dialami. Sesuatu yang berlebihan atau malah kurang itu
tidak baik, jadi yang terbaik itu adalah seimbang. Masalah manusia
adalah terpenting dari semua masalah. Hakekat manusia selalu berkaitan dengan
unsur pokok yang membentuknya. Manusia secara individu tidak pernah menciptakan
dirinya, akan tetapi bukan berarti bahwa ia tidak dapat menentukan jalan hidup
setelah kelahirannya dan eksistensinya dalam kehidupan dunia ini untuk mencapai
kedewasaan dan semua kenyataan itu, akan memberikan andil atas jawaban mengenai
pertanyaan hakekat, kedudukan, dan perannya dalam kehidupan yang ia hadapi.[9]
3. Kedudukan dan peran manusia
Manusia sebagai mahluk yang
berdimensional memiliki peran dan kedudukan yang sangat mulia. Manusia memiliki
eksistensi dalam hidupnya sebagai abdullah, an-nas, al insan, al basyar dan
khalifah. Kedudukan dan peran manusia adalah memerankan ia dalam kelima
eksistensi tersebut. Misalkan sebagai khalifah dimuka bumi sebagai pengganti
Tuhan manusia disini harus bersentuhan dengan sejarah dan membuat sejarah
dengan mengembangkan esensi ingin tahu menjadikan ia bersifat kreatif dan
dengan di semangati nilai-nilai trasendensi. Manusia dengan Tuhan memiliki
kedudukan sebagai hamba, yang memiliki inspirasi nilai-nilai ke-Tuhan-an yang
tertanam sebagai penganti Tuhan dalam muka bumi. Manusia dengan manusia yang
lain memiliki korelasi yang seimbang dan saling berkerjasama dalam rangka
memakmurkan bumi. Manusia dengan alam sekitar merupakan sarana untuk
meningkatkan pengetahuan dan rasa syukur kita terhadap Tuhan dan bertugas
menjadikan alam sebagai subjek dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan.
Setiap apa yang dilakukan oleh manusia dalam pelaksana pengganti Tuhan sesuai
dengan maqasid asy-syari’ah. Maqasid asy-syari’ah merupakan tujuan utama
diciptanya sebuah hukum atau mungkin nilai-esensi dari hukum, dimana harus
menjaga agama, jiwa, keturunan, harta, akal dan, ekologi. Manusia yang memegang
amanah sebagai khalifah dalam melakukan keputusan dan tindakannya sesuai dengan
maqasid asy-syari’ah.[10]
[2]Darsono
Prawironegoro, Filsafat Ilmu, (Kajian tentang Pengetahuan yang Disusun
Secara Sistematis dan Sistemik dalam Membangun Ilmu Pengetahuan), (Jakarta:
Nusantara Consulting, 2010), h. 176
[3]Ibid.,
h. 183
[4]Ibid.,
h. 178-179
[5]Ibid.,
h. 179-181
[6] Ibid.,
h. 175-176
[7]Ibid.,
h. 181
[8]Ibid.,
h. 187
Komentar