SESAJEN
Sesajen
adalah istilah atau
ungkapan untuk segala sesuatu yang disajikan dan dipersembahkan untuk sesuatu
yang tidak tampak namun ditakuti atau diagungkan. Sesajian ini bisa berupa
makanan, minuman, bunga, atau benda-benda lainnya. Bahkan termasuk diantaranya
adalah sesuatu yang bernyawa.
Budaya
dan ritual sajen ini tidak terlepas dari nuansa dan muatan kesyirikan.
Kesyirikan ini sangat terkait dengan tujuan, maksud atau motifasi dilakukannya
ritual sajenan tersebut. Rinciannya
sebagai berikut:
1.
Jika melakukan ritual sajenan ini dengan tujuan untuk
penghormatan dan pengagungan, maka persembahan ini termasuk bentuk Taqorrub
(ibadah) dan taqorrub ini tidak boleh ditujukan kepada selain Allah Ta’ala.
Maka apabila ditujukan untuk selain Allah seperti untuk roh-roh para orang
sholeh yang telah wafat atau makhluk halus, maka perbuatan ini merupakan
kesyirikan dengan derajat syirik akbar yang pelakunya wajib bertaubat dan
meninggalkannya karena ia terancam kafir atau murtad. Seperti firman Allah SWT
pada QS Al-An’am ayat 162-163 yang artinya (162) Katakanlah: Sesungguhnya
sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta
alam. (163) Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang
diperintahkan kepadaku dan Aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri
(kepada Allah)".
2.
Bila ritual ini dilakukan atas dasar rasa takut kepada
roh-roh atau makhluk-makhluk tersebut terhadap gangguan atau kemarahannya, atau
takut bahaya yang akan menimpa karena kuwalat disebabkan menyepelekannya, atau
dengan maksud agar bencana yang sedang terjadi segera berhenti atau malapetaka
yang dikhawatirkan tidak akan terjadi, atau untuk tujuan agar keberuntungan dan
keberhasilan serta kemakmuran segera datang menghampiri, maka dalam hal ini ada
dua hal yang perlu dikritisi:
1)
Rasa takut adalah ibadah hati. Setiap ibadah tidak boleh
ditujukan kepada selain Allah Ta’ala, karena ibadah adalah hak mutlak Allah
Ta’ala semata. Barangsiapa yang memalingkannya kepada selain-Nya, maka dia telah
berbuat syirik kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman QS. Ali Imran ayat 175:
Yang artiya:
Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti
(kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), Karena itu
janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaku, jika kamu
benar-benar orang yang beriman.
2)
Keyakinan bahwa ada makhluk yang mampu memunculkan
malapetaka serta bisa mendatangkan keberuntungan, kemakmuran dan kesejahteraan
maka keyakinan seperti ini merupakan keyakinan syirik, karena meyakini adanya
tandingan bagi Allah Ta’ala dalam hak rububiyah-Nya berupa hak mutlak Allah
dalam memberi dan menahan suatu manfaat (kebaikan/keberuntungan) maupun
mudhorot (celaka/bencana). Allah berfirman dalam QS. Yunus ayat 106-107 yang artinya:
(106) Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi
manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika
kamu berbuat (yang demikian), itu, Maka Sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk
orang-orang yang zalim". (107) Jika
Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, Maka tidak ada yang dapat
menghilangkannya kecuali Dia. dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu,
Maka tak ada yang dapat menolak kurniaNya. dia memberikan kebaikan itu kepada
siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
3.
Namun apabila melakukan ritual sajenan ini hanya bertujuan
sekedar untuk menghidangkan santapan bagi para roh tersebut dengan anggapan
bahwa para roh tersebut akan datang kemudian menyantapnya, maka ini merupakan
anggapan yang keliru dari beberapa sisi:
1) Jika meyakini yang
datang dan menyantapnya adalah roh-roh orang yang telah mati (seperti roh para
leluhur), maka ini bertentangan dengan dalil-dalil hadits yang menjelaskan
tentang alam barzakh (kubur) bahwa keadaan para hamba yang telah dicabut
nyawanya ada dua bentuk. Jika ia termasuk hamba yang baik dan beruntung, maka
ia mendapat nikmat kubur yang cukup dari Tuhannya sehingga tidak perlu keluar
dari kubur untuk mencari nikmat tambahan. Namun bila ia termasuk hamba yang
celaka lagi berdosa, maka siksa kubur yang akan ia dapatkan dari Allah sehingga
tidak mungkin baginya untuk bisa lari dari siksa-Nya,
2)
Apabila meyakini bahwa yang datang dan menyantap sajian
tersebut adalah para roh dari kalangan makhluk halus, maka perbuatan tersebut
merupakan hal yang sia-sia dan mubazir, karena Allah dan rosul-Nya tidak pernah
memerintahkan demikian. Allah Ta’ala berfirman dalam QS.Al-Isro ayat 26-27 yang
artinya: (26) Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan
haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. (27) Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah Saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah
sangat ingkar kepada Tuhannya.
Jika
ada diantara kita mengatakan bahwa sajian dan santapan yang dihidangkan untuk
para roh orang yang telah mati benar-benar berkurang atau bahkan habis, maka
ini tidak lepas dari dua kemungkinan:
·
Bisa jadi diambil atau dimakan makhluk yang kasat mata
dari kalangan manusia atau hewan.
·
Bisa jadi pula diambil dan dicuri oleh makhluk yang tidak
kasat mata dari kalangan jin. Berkaitan dengan pencurian yang dilakukan jin ini
terdapat hadits yang menjelaskan tentang hal ini: yaitu hadits Abu Huroiroh ra
dimana ia pernah ditunjuk oleh Nabi SAW sebagai petugas yang menjaga harta
zakat Ramadhan, lalu selama tiga malam berturut-turut datang syaithon -yang
menjelma sebagai manusia- mencuri harta zakat tersebut dan selalu tertangkap
namun dibebaskan olehnya karena alasan tanggungan keluarga dan kebutuhan yang
terdesak. Pada malam ketiga, pencuri itupun ditangkap lagi dan akan diserahkan
kepada Nabi SAW, tapi akhirnya pun dilepaskan karena memberitahukan kepadanya
sebuah keutamaan ayat kursi ketika dibaca sebelum tidur, yaitu orang yang
membacanya senantiasa dalam penjagaan Allah dan jauh dari gangguan syaithon.
Namun demikian, Abu Hurairah tidak lantas percaya dengan ucapannya. Lalu di
pagi hari Nabi SAW bersabda kepadanya -yang singkatnya-: ”Adapun dia,
sesungguhnya dia jujur kepadamu (dalam hal ini saja) padahal dia adalah
pendusta (yang paling ulung dalam berdusta). Tahukah engkau siapa yang engkau
ajak bicara semenjak tiga malam yang lalu Wahai Abu Hurairoh?” Aku
jawab,”Tidak”. Beliau bersabda,”Itu adalah syaithon”. (HR.Bukhori dalam tafsir
dari ayat kursi)
Akhirnya
setelah kita mengetahui hukum sajenan ini menurut syariat agama, maka hendaknya
kita sebagai seorang muslim yang beriman dan cinta kepada Allah dan rasul-Nya
meninggalkan budaya ini, seperti misalnya budaya menyiapkan sesajen ketika acara
pengantin pakaian raja banjar karna
menyiapkan sesajen itu tidak penah diperintahkan oleh Allah dan rasul-Nya.
Semoga
Allah Ta’ala membimbing dan menunjuki kita agar senantiasa ta’at kepada-Nya dan
kepada rasul-Nya. Wallohu a’lamu bish-showab.
Komentar