Filsafat Patristik
FILSAFAT PATRISTIK
A.
Zaman
Patristik
Istilah Patristik berasal dari kata latin patres yang
berarti Bapak dalam lingkungan gereja. Bapak yang mengacu pada pujangga
Kristen, mencari jalan menuju teologi Kristiani, melalui peletakan dasar
intelektual untuk agama kristen. Didunia Barat agama Khatolik mulai tersebar
dengan ajarannya tentang Tuhan, manusia dan dunia, dan etikanya. Untuk
mempertahankan dan menyebarkanya maka mereka menggukanakan falsafat Yunani dan
memperkembangkanya lebih lanjut, khususnya mengenai soal-soal yang berhubungan
dengan manusia, kepribadian, kesusilaan, sifat Tuhan. Yang terkenal Tertulianus
(160-222), Origenes (185-254), Agustinus (354-430), yang sangat besar
pengaruhnya (De Civitate Dei). Berdasarkan ajaran
Neo-Plaonisi da Stoa, ajarannya meliputi pengetahuan, tata dalam alam. Bukti
adanya Tuhan, tentang manusia, jiwa, etika, masyarakat dan sejarah.
Periode ini ditandai dengan oleh Bapak-bapak Gereja
(patristik) yang dimulai dengan tampilnya apologet, dan para
pengarang Gereja. Para Apologet memiliki tugas utama menjawab berbagai
persoalan dan keberatan mengenai ajaran-ajaran iman Gereja terhadap berbagai
ajaran atau paham-paham filosofis yang mengancam ajaran keimanan yang benar.
Para pengarang Gereja adalah orang-orang yang menulis buku dan
karangan-karangan tentang berbagai ajaran Gereja secara menyeluruh dan mendalam
dibandingkan dengan tulisan-tulisan sebelumnya. Mereka-mereka itu
adalah Clemens dari Alexandria (150-219 M) dan Origenes (185-254 M). Kemudian
tampil juga para pujangga Gereja (325-500 M) yang membaktikan jasa mereka bagi
Gereja dan ajaran Kristen. Satu Athanasius, Gregorius dan Naziaza, Basilius,
Gregorius dari Nyssa, dan Sirilus dari Alexandria adalah para pujangga Gereja
dari tradisi Yunani dan menggunakan Bahasa Yunani, sedangkan Ambrosius dan
Agustinus termasuk dalam tradisi Latin yang menggunakan bahasa Latin.
Ajaran-ajaran mereka, terutama ajaran Agustinus, berkembang sangat luas dan
sangat berpengaruh dalam diri para filosuf abad pertengahan. Masa Agustinus
(354-430 M) sampai ca. 1000 M dikeal dalam sejarah filsafat sebagai periode
transisi, dan para filsuf yang terkelompok dalam periode ini adalah
Agustinus sendiri, Boethius (480-525 M) dan John Scotus Eriugena (lahir ca. 800
M).
B.
Kedudukan Filsafat Pada Zaman Patristik
Filsafat pada zaman ini berlangsung pada abad
pertengahan tepatnya pada tahun 100-700. Namun, pada sumber lain ada juga yang
menyebutkan bahwa Filsafat Abad Pertengahan dimulai sejak Plotinus. Pada
Plotinus (lahir 204 M). Karena filsafat ini
berlangsung pada Abad pertengahan maka sangat erat kaitannya dengan filsafat
pada abad pertengahan terutama terhadap tokoh-tokoh filsafat pada abad
pertengahan yakni Tertalius (160-222), Origenes (185-254), Agustinus (354-430).
Akal pada Abad ini tidak diutamakan. Hal itu kelihatan
jelas pada Filsafat Plotinus., Agustinus, Anselmus. Pada Aquinas penghargaan
terhadap akal muncul kembali, dan kerena itu filsafatnya mendapat kritikan.
Ciri khas Filsafat Abad pertengahan terletak pada rumusan terkenal yang
dikemukakan oleh Saint Anselmus, yaitu Credo Ut Intelligam, yang berarti iman
terlebih dahulu setelah itu mengerti.Sifat ini berlawanan dengan
sifat Filsafat Rasional. Dalam Filsafat Rasioanl pengertian itulah yang
didahulukan; setelah dia mengerti barulah mungkin ia diterima dan kalau mau
diimani.
Namun Filsafat Credo Ut Intelligem
itu tidak merugikan perkembangan Filsafat dan Sains seandainya wahyu yang dijadikan
andalan adalah wahyu yang tidak berlawanan dengan akal logis.
Filsafat Islam. Filsafat didalam Islam berkembang amatpesat karena keyakinan
Islam tidak ada yang berlawanan dengan akal logis; yang ada adalah
bagian-bagaian yang berada didaerah Supralogis dan Suprarasional.
Sains, Filsafat dan iman (rasa) sebenarnya merupakan
keseluruhan pengetahuan manusia. Akan tetapi pembatasan daerah kerja
(kapling)nya masih harus jelas. Sains bekerja pada objek-objek sensasi,
Filsafat pada objek-objek abstrak logis, sedangkan hati (rasa) bekerja pada
daerah-daerah Supralogis. Kelemahan lain dalam Filsafat Kristen pada Abad
Pertengahan itu adalah sifatnya yang terlalu yakin terhadap
penafsiran teks kitab suci. Pada Abad
Pertengahan itu Agama Kristen boleh dikatakan bukan lagi kitab suci, melainkan
penafsiran kitab suci oleh para Saint tersebut. Berbedanya pemikiran Copernicus
dengan Galileo dengan pemikiran tokoh-tokoh Gereja telah
menyebabkan kedua tokoh tersebut dihukum. Pendapat kedua ilmuwan
tersebut tidak berlawanan dengan kitab Suci, melainkan berbeda dengan pendapat
Tokoh Gereja yang mengatasnamakan Kitab Suci, namun kedua Ilmuwan itulah yang
benar.
Komentar