PERNIKAHAN
BAB V
PERNIKAHAN
A.
PERNIKAHAN
1.
Pengertian Nikah
Nikah artinya suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan yang bukan mahramnya
sehingga mengakibatkan terdapatnya hak dan kewajiban diantara keduanya, dengan menggunakan lafaz inkah atau tazwij atau terjemahannya.
Dalam UU Perkawinan no. 1 Tahun 1974 ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) pasal 2, bahwa
Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Pada saat ini, pernikahan harus
tertib administrasi, sesuai dengan Pasal 5 yang menjelaskan (1) Agar terjamin
ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. (2) Pencatatan perkawinan
tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diaturdalam Undangundang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.
2.
Hukum Pernikahan
Jumhur ulama menetapkan hukum menikah menjadi lima yaitu
:
a.
Mubah
Hukum asal pernikahan adalah mubah. Hukum ini berlaku
bagi yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan nikah atau mengharamkannya.
b.
Sunnah
Hukum ini berlaku bagi yang memiliki bekal untuk hidup berkeluarga,
mampu secara jasmani dan rohani untuk berumah tangga dan dirinya tidak khawatir
terjerumus dalam perzinaan atau muqaddimahnya (hubungan lawan jenis dalam
bentuk apapun yang tidak sampai pada praktik perzinaan).
c.
Wajib
Hukum ini berlaku bagi yang telah mencapai kedewasaan jasmani
dan rohani, memiliki bekal untuk menafkahi istri, dan khawatir dirinya akan
terjerumus dalam pebuatan zina jika tidak menikah.
d.
Makruh
Hukum ini berlaku bagi yang belum mempunyai bekal untuk menafkahi
keluarganya, walaupun telah siap secara fisik untuk berumah tangga, dan ia
tidak khawatir terjerumus dalam perzinaan. Untuk ini disarankan memperbanyak
puasa guna meredam syahwatnya.
e.
Haram
Hukum ini berlaku bagi seseorang yang menikah dengan tujuan menyakiti istrinya, mempermainkannya serta memeras hartanya
3.
Meminang atau Khitbah
Khitbah artinya
pinangan, yaitu permintaan seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk dijadikan istri dengan cara-cara umum
yang sudah berlaku di masyarakat.
1)
Cara mengajukan pinangan
a)
Pinangan kepada gadis atau janda yang sudah habis masa iddahnya dinyatakan secara
terang-terangan.
b)
Pinangan kepada janda yang masih berada dalam masa iddah thalaq bain atau ditinggal
mati suami tidak boleh dinyatakan secara terang-terangan.
c)
Pinangan kepada mereka hanya boleh dilakukan secara sindiran. Hal ini sebagaimana
Allah terangkan dalam surat al-Baqarah ayat 235 di atas.
2)
Perempuan yang boleh dipinang
a)
Perempuan yang bukan berstatus sebagai istri orang.
b)
Perempuan yang tidak dalam masa 'iddah.
c)
Perempuan yang belum dipinang orang lain.
3)
Melihat calon istri atau suami
Melihat perempuan
yang akan dinikahi disunnahkan oleh agama. Beberapa pendapat
tentang batas kebolehan melihat seorang perempuan yang akan dipinang diantaranya:
a)
Jumhur ulama berpendapat boleh melihat
wajah dan kedua telapak tangan, karena dengan
demikian akan dapat diketahui kehalusan tubuh dan kecantikannya.
b)
Abu Dawud berpendapat boleh melihat
seluruh tubuh.
c)
Imam Abu Hanifah membolehkan melihat
dua telapak kaki, muka dan telapak tangan.
4.
Memahami Mahram
Mahram adalah orang, baik laki-laki maupun perempuan yang
haram dinikahi.
Perhatikan diagram mahram berikut ini :
5.
Prinsip Kafa’ah dalam pernikahan
Kafáah atau kufu artinya kesamaan atau kesetaraan antara
calon suami dan calon istri dari segi (keturunan), status sosial (jabatan,
pangkat) agama (akhlak) dan harta kekayaan.
Kafáah adalah hak perempuan dari walinya. Jika seseorang
perempuan rela menikah dengan seorang laki-laki yang tidak sekufu, tetapi
walinya tidak rela maka walinya berhak mengajukan gugatan fasakh (batal).
Demikian pula sebaliknya, apabila perempuan dinikahkan oleh walinya dengan laki-laki
yang tidak sekufu dengannya, ia berhak mengajukan gugatan fasakh.
6.
Syarat dan Rukun Nikah
1)
Calon suami, syaratnya :
a.
Islam
b.
benar-benar seorang laki-laki
c.
Menikah bukan karena paksaan
d.
Tidak beristri empat.
e.
Mengetahui bahwa calon istri bukanlah wanita yang haram ia nikahi
f.
Calon istri bukanlah wanita yang haram dimadu dengan istrinya, seperti menikahi
saudara perempuan kandung istrinya.
g.
Tidak sedang berihram haji atau umrah
2)
Calon istri, syaratnya :
a.
Beragama Islam
b.
Benar-benar perempuan
c.
Mendapat izin menikah dari walinya
d.
Bukan sebagai istri orang lain
e.
Bukan sebagai mu’taddah (wanita yang
sedang dalam masa ‘iddah)
f.
Tidak memiliki hubungan mahram dengan calon suaminya
g.
Bukan sebagai wanita yang pernah
dili’an calon suaminya (dilaknat suaminya karena tertuduh zina)
h.
Atas kemauan sendiri
i.
Tidak sedang ihram haji atau umrah
3)
Wali, syaratnya ;
a.
Laki-laki
b.
Beragama Islam
c.
Baligh (dewasa)
d.
Berakal
e.
Merdeka (bukan berstatus sebagai hamba sahaya)
f.
Adil
g.
Tidak sedang ihram haji atu umrah
4)
Dua orang saksi, syaratnya :
a.
Dua orang laki-laki
b.
Beragama Islam
c.
Dewasa/baligh, berakal, merdeka dan adil
d.
Melihat dan mendengar
e.
Memahami bahasa yang digunkan dalam akad
f.
Tidak sedang mengerjakan ihram haji atau umrah
g.
Hadir dalam ijab qabul
5)
Ijab qabul, syaratnya :
a.
Menggunakan kata yang bermakna menikah atau menikahkan, baik bahasa Arab,
bahasa Indonesia, atau bahasa daerah sang pengantin.
b.
Lafaz ijab qabul diucapkan pelaku akad
nikah (pengantin laki-laki dan wali pengantin
perempuan).
c.
Antara ijab dan qaul harus bersambung
tidak boleh diselingi perkataan atau perbuatan
lain.
d. Pelaksanaan ijab dan qabul harus berada pada satu tempat tidak dikaitkan dengan suatu persyaratan apapun.
e. Tidak dibatasi dengan waktu tertentu
7.
Wali, Saksi dan Ijab Qabul
1)
Wali Nikah
Seluruh
madzab sepakat bahwa wali dalam pernikahan adalah wali perempuan yang melakukan
akad nikah dengan pengantin laki-laki yang menjadi pilihan wanita tersebut. Adapun
Syarat-syarat wali
adalah Merdeka (mempunyai kekuasaan), Berakal, Baligh, dan Islam.
Bapak atau kakek calon pengantin wanita yang dibolehkan
menikahkannya tanpa diharuskan meminta izin terlebih dahulu padanya
haruslah memenuhi syarat-syarat
berikut:
·
Tidak ada permusuhan antara wali mujbir
dengan anak gadis tersebut
·
Sekufu’ antara perempuan dengan
laki-laki calon suaminya
·
Calon suami itu mampu membayar mas
kawin
·
Calon suami tidak cacat yang
membahayakan pergaulan dengan calon pengantin wanita
seperti buta dan yang semisalnya.
Wali
nikah terbagi menjadi dua macam yaitu wali nasab dan wali hakim. Wali nasab
adalah wali dari pihak kerabat. Sedangkan wali hakim adalah pejabat yang diberi
hak oleh penguasa untuk menjadi wali nikah dalam keadaan tertentu dan dengan
sebab tertentu.
Berikut
urutan wali nasab, dari yang paling kuat memiliki hak perwalian hingga yang
paling lemah.
1.
Ayah
2.
Kakek dari pihak bapak terus ke atas
3.
Saudara laki-laki kandung
4.
Saudara laki-laki sebapak
5.
Anak laki-laki saudara laki-laki kandung
6.
Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak
7.
Paman (saudara bapak) sekandung
8.
Paman (saudara bapak) sebapak
9.
Anak laki-laki dari paman sekandung
10. Anak laki-laki dari paman sebapak
11. Hakim
2)
Macam-Macam Wali
1.
Wali Mujbir
Wali mujbir adalah
wali yang berhak menikahkan anak perempuannya yang sudah baligh, berakal,
dengan tiada meminta izin terlebih dahulu kepadanya. Hanya bapak dan kakek yang
dapat menjadi wali mujbir.
2.
Wali Hakim
Yang dimaksud dengan
wali hakim adalah kepala negara yang beragama Islam. Dalam konteks
keindonesiaan tanggung jawab ini dikuasakan kepada Menteri Agama yang
selanjutnya dikuasakan kepada para pegawai pencatat nikah. Dengan kata lain,
yang bertindak sebagai wali hakim di Indonesia adalah para pegawai pencatat
nikah. Sebab-sebab perempuan berwali hakim yaitu
·
Tidak ada wali nasab
·
Yang lebih dekat tidak mencukupi syarat sebagai wali dan wali yang lebih jauh
tidak ada
·
Wali yang lebih dekat tidak berada di tempat/berada jauh di luar wilayahnya.
·
Wali yang lebih dekat sedang melakukan ihram / ibadah haji atau umrah
·
Wali yang lebih dekat masuk penjara dan tidak dapat dijumpai
·
Wali yang lebih dekat tidak mau menikahkan
·
Wali yang lebih dekat secara sembunyi-sembunyi tidak mau menikahkan
·
Wali yang lebih dekat hilang, tidak diketahui tempatnya dan tidak diketahui
pula hidup dan matinya (mafqud)
3.
Wali adhal
Wali adhal adalah
wali yang tidak mau menikahkan anaknya/cucunya, karena calon suami yang akan
menikahi anak/cucunya tersebut tidak sesuai dengan kehendaknya. Padahal calon
suami dan anaknya/cucunya sekufu.
Komentar