HUKUM SYARA’ DAN PEMBAGIANNYA
Hukum syara’ atau
yang lebih populer disebut dengan hukum syari’at merupakan sejumlah aturan
Allah Swt yang mengatur berbagai persoalan manusia yang berkaitan dengan
perbuatan mukallaf (orang yang terbebani hukum), aturan-aturan hukum syara’ ini
diciptakan dan ditetapkan bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia,
baik di dunia maupun di akhirat nanti.
Dalam kajian ushul
fikih, pembahasan tentang hukum syara’ ini meliputi :
A.
AL-HAKIM (Pencipta
Hukum)
Para
ulama sependapat, bahwa sumber hukum syari’at
adalah Allah Swt yang diberikan Allah secara langsung berupa nash-nash
yang diwahyukan kepada Rasul-Nya dan bisa dengan perantara petunjuk yang
diberikan kepada ulama mujtahid untuk mengistimbathkan hukum terhadap perbuatan
mukallaf, dengan bantuan dalil-dalil dan tanda-tanda yang disyari’atkan.
Dengan
kata lain, pengertian ini mengisyaratkan bahwa kewenangan penciptaan hukum
syara’ itu adalah Allah Swt sendiri.
Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana dengan peran Rasulullah
Saw dan para mujtahid dalam melahirkan hukum syara’. Di sini timbul perbedaan
pendapat di kalangan para ulama ushul.
Golongan
pertama mengatakan, bahwa pencipta hukum syara’ itu adalah Allah semata.
sedangkan Rasul sebagai penyampai dan penggali hukum-hukum syara’ yang
diciptakan oleh Allah Swt dari penuturan nash baik perintah maupun larangan.
Golongan
kedua mengatakan bahwa Allah Swt Sebagai pembuat hukum, Rasul dan mujtahid berperan
sebagai penyampai hukum-hukum serta melahirkan hukum-hukum syara’ yang tidak
dijelaskan secara tekstual dalam wahyu-Nya. Atas dasar ini, maka Rasulullah dan
para mujtahid mempunyai peran yang cukup besar dalam penetapan hukum syara’
yang tidak disebutkan di dalam al-Qur’an.
Namun
demikian, dapat dipahami bahwa peran para mujtahid pada hakikatnya bukan
pencipta hukum, melainkan hanya melahirkan dan menggali hukum (istimbath hukum)
dengan memperhatikan dalil-dalil dan isyarat-isyarat yang dapat dijadikan
patokan dalam penetapan suatu ketetapan hukum. Dengan kata lain, sekalipun
Rasul dan para mujtahid memiliki peran yang cukup besar dalam menetapkan hukum,
tetapi pada hakikatnya pencipta hukum
itu (al-Hakim) hanya Allah Swt semata.
B.
AL-HUKMU (Hakikat
Hukum Syara’)
Al-hukmu menurut bahasa menetapkan sesuatu terhadap sesuatu. Secara istilah
menurut Muhammad Abu Zahra adalah Tuntutan syar’i (seruan) Allah Swt yang
berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, baik sifatnya mengandung perintah
maupun larangan, adanya pilihan atau adanya sesuatu yang dikaitkan dengan
sebab, atau hal yang menghalangi adanya sesuatu.
Hukum ada
dua macam :
1) Hukum taklifi
Hukum taklifi adalah hukum yang
mengandung tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan sesuatu dengan pasti, hukum
taklifi ada lima, yaitu:
a. Al-Ijab (wajib)
b. An-Nadb (sunah)
c. At-Tahrim (haram)
d. Al-Karahah (makruh)
e. Al-Ibahah (mubah)
2) Hukum wadh’i
Yaitu hukum yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, mani’, azimah, rukhsah, sah dan batal bagi sesuatu. Jadi yang menyebabkan ada atau tidak adanya hukum taklifi disebut hukum wadh’i. Hukum wadh’i ada lima:
a.
Sebab, dengan adanya sebab mengharuskan keberadaan hukum, dan
tidak adanya sebab mengharuskan ketiadaan hukum.
b. Syarat, adalah sesuatu yang harus
dipenuhi dulu sebelum suatu perbuatan dilakukan.
c. Mani’ (penghalang) adalah sifat zahir
yang pasti, yang menghalangi tetapnya hukum, atau dengan istilah lain sesuatu
yang mengharuskan tidak adanya hukum atau batalnya sebab.
d. Azimah adalah hukum yang berkaitan dengan
perbuatan mukallaf tanpa adanya uzur.
e. Sah dan batal adalah sesuatu yang
dituntut oleh Allah dari para mukallaf berupa perbuatan dan apa yang
ditetapkan-Nya berupa syarat dan sebab, apabila mukallaf melaksanakannya
terkadang menghukuminya sah dan terkadang menghukuminya tidak sah, sebab dan syarat
tersebut.
C.
AL-MAHKUM FIIH
(Obyek / Peristiwa Hukum)
Yang dimaksud dengan mahkum fih, seperti
dijelaskan oleh Abdul Akrim Zaidan adalah perbuatan orang mukallaf yang
berkaitan dengan hukum syara’.
D.
AL-MAHKUM ‘ALAIH
(Subyek Hukum)
Mahkum
‘alaih ialah orang mukallaf yang dibebani hukum syara’ atau disebut subyek
hukum.
Komentar