Hibah
1.
Pengertian Hibah
Hibah adalah pemberian suatu benda
atau hak milik kepada orang lain diwaktu hidupnya, dengan tidak mengharapkan
adanya pengganti apapun, yang pada kedua belah pihak terdapat kata pengikat
baik lisan maupun tulisan, sedangkan barang yang dihibahkan adalah barang yang
sah untuk diperjual belikan.[1]
Hibah adalah pemberian sesuatu barang oleh
seseorang kepada orang lain, untuk dijadikan hak miliknya tanpa pembayaran,
tanpa suatu sebab, tanpa maksud tertentu. Hibah itu bisa berupa materi atau
barang dan bisa juga berupa kemanfa’atan.
Hibah hukumnya sunnah dan lebih utama
menghibahkan sesuatu kepada kaum keluarganya. Dasar hukumnya adalah Firman
Allah SWT :
وَآتَى اْالمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِى
اْلقُرْبىَ وَاْايَتَامَى وَاْلمَسَاكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَالسَّائِلِيْنَ
“Diantara beberapa kebajikan itu
ialah”memberikan harta benda yang dikasihi kepada keluarganya yang miskin dan
kepada anak yatim dan orang miskin dan orang yang ada dalam perjalanan dan
kepada orang-orang yang minta (karena tidak punya)” (Q.S. Al Baqarah : 177).
Sabda
Rasulullah SAW :
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ
عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَوْدُعِيْتُ اِلَى
كُرَاعٍ اَوْذَرَاعٍ لَأَحْبَبْتُ وَلَوْاُهْدِىَ اِلَىَّ ذِرَاعٌ اَوْكُرَاعٌ
لَقَبَلْتُ. رواه البخارى
“Abu Hurairah r.a berkata :” Nabi SAW bersabda :”Sekiranya saya diundang
untuk makan sepotong kaki binatang, dihadiahkan kepada saya tentu akan saya
terima” (H.R. Bukhari).[2]
2.
Rukun Hibah
Rukun
hibah ada 4 macam, yaitu:
1)
Orang yang memberikan hibah (wahib)
2)
Orang yang diberi hibah (mauhub lahu)
3)
Barang yang dihibahkan (mauhub)
4)
‘Aqad (ijab qabul)
3.
Syarat-syarat Hibah
Syarat-syarat hibah
yaitu:
1)
Sesuatu yang dihibahkan ialah boleh diperjual belikan
2)
Yang menghibahkan sudah baligh, berakal, tidak terlarang
mempergunakan hartanya dan yang dihibahkan miliknya sendiri
3)
Orang yang menerima hibah dengan syarat berhak memiliki
sesuatu yang dihibahkan. Tidak sah hibah kepada bayi yang dalam kandungan,
karena ia tidak dapat memiliki
4)
Syarat ucapan ijab-qabul dalam hal jual beli.
Hibah itu dianggap dapat menjadi milik yang
diberi, dengan syarat, setelah benda atau barang itu diterima oleh yang
diberinya. Kalau orang yang diberi hibah itu telah menerima pemberian itu, maka
tiada hak lagi bagi orang yang memberi mencabut kembali, kecuali ayah terhadap
anaknya. Sebagaimana hadis dari Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas RA, dari Nabi SAW
beliau bersabda :
لاَيَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ اَنْ يُعْطِيَ اْلعَطِيَّةَ
ثُمَّ يَرْجِعُ فِيْهَا اِلاَّ اْلوَالِدُ فِيْمَا يُعْطِيْ وَلَدَهُ (رواه أحمد
والأربعة)
“Tidak
halal bagi seorang muslim yang telah memberikan pemberian, lalu ia minta kembali
pemberiannya, kecuali bagi orang tua (ayah-ibu) dalam sesuatu pemberian kepada
anaknya”.(H.R Ahmad, dan Imam empat).
Jika hibah itu dibatasi untuk dipakainya
seumur hidup, atau disyaratkan harus kembali kepada pemiliknya jika ternyata ia
lebih dahulu meninggal, maka benda itu tetap jatuh menjadi milik yang
dijanjikan itu, yakni orang yang diberi hibah, serta ahli warisnya dikemudian
hari.[3]
4.
Syarat-syarat barang yang dihibahkan :
1)
Barang yang dihibahkan itu jelas terlihat wujudnya
2)
Barang yang dihibahkan adalah yang mempunyai harga
3)
Barang yang dihibahkan adalah betul-betul milik orang
yang memberikan hibah dan dapat berpindah status pemiliknya dari tangan pemberi
hibah ke tangan penerima hibah. Karena tidak sah menghibahkan air sungai atau
menghibahkan ikan di laut, dan sebagainya.[4]
5. Hukum Mencabut Hibah
Mencabut
kembali hibah tanpa alasan yang dapat dibenarkan merupakan perbuatan yang tidak
terpuji. Adapun orang yang dibenarkan mencabut kembali hibahnya adalah :
a.
Orang yang ada hubungan keluarga dengan pihak penerima
b.
Dirasakan ada unsur ketidak adilan di antara anak-anak
yang menerima hibah
c.
Bila dengan adanya hibah itu ada kemungkinan menimbulkan
iri hati dan fitnah.
اَاْلعَائِدُ فِيْ هِبَتِهِ كَاْلكَلْبِ يُقِيْئُ ثُمَّ
يَعُوْدُ فِيْ قَيْئِهِ(متفق عليه)
“Orang yang menarik kembali hibahnya
sebagaimana anjing yang muntah lalu dimakannya kembali muntahnya itu”. (sepakat
ahli Hadits)[5]
[2] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung : Sinar Baru Algesindo, 2013), Cet Ke-6, h. 326
[3]
Moh. Rifa’i, Fiqh untuk Madrasah Aliyah Kelas II, (Semarang : CV.
Wicaksana, 1994), h. 80
[4] Moh. Saifullah Al-Aziz, Fiqih Islam
Lengkap Pedoman Hukum Ibadah Umat Islam dengan Berbagai Permasalahannya, (Surabaya
: Terbit Terang, 2005), h. 398
[5] Moh. Rifa’i, Loc. Cit.
Komentar